Skip to main content
Breedie Podcast

Breedie Podcast

By Breedie

Available on
Apple Podcasts Logo
Google Podcasts Logo
Pocket Casts Logo
RadioPublic Logo
Spotify Logo
Currently playing episode

Podcast Breedie Episode 6 - Sabtuan Bersama Asfinawati (Direktur YLBHI)

Breedie PodcastApr 17, 2020

00:00
01:18:05
Podcast Breedie Episode 6 - Sabtuan Bersama Asfinawati (Direktur YLBHI)

Podcast Breedie Episode 6 - Sabtuan Bersama Asfinawati (Direktur YLBHI)

Bree, kita balik lagi di siniar Breedie..

Untuk Episode 6, kita kembali menyimak Diskusi Sabtuan yang untuk pertama kalinya digelar dalam bentuk konferensi video. Kendati situasi yang tak kunjung kondusif lantaran pandemi, namun interaksi di alam maya ini justru berhasil menyedot beragam peserta dari lintas daerah di Indonesia. Serunya, KontraS Aceh berhasil menghadirkan Asfinawati, advokat hak asasi manusia yang kini Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Dimoderatori Azharul Husna, diskusi ini mengulas wacana pembebasan narapidana korupsi yang sempat bergulir awal April lalu. Seperti diketahui, Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly semula memunculkan rencana ini sehubungan dengan pencegahan penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Kabarnya ada sekitar 35 ribu narapidana yang akan dibebaskan. Untuk napi korupsi, kemungkinan yang akan bebas adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa tahanan, caranya dengan lebih dulu merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. 

Para aktivis sontak melayangkan protes. "Di lapas, koruptor hidup cukup eksklusif, mereka tidak berdesak-desakan sebagaimana sel napi lainnya," ujar Asfin, seraya mengingat jejak Yasonna yang sudah empat kali mengatakan mau merevisi peraturan tersebut. Apakah ada udang dibalik batu? Mari simak selengkapnya. Jangan lupa cuci tangan pakai sabun ya, Bree!

Apr 17, 202001:18:05
Podcast Awal 2020: Cang Panah 2 Tahun Breedie (Part 2)

Podcast Awal 2020: Cang Panah 2 Tahun Breedie (Part 2)

Sori telat, lagi mepet nimbun sembako (becanda Bree, ya beuh, kelewatan sikit emang). Kita kembali lagi di bagian berikutnya tentang ‘Cang Panah 2 Tahun Breedie’. Disini kita berkaca lagi dengan bermacam kritik yang disampaikan orang-orang tentang identitas Breedie.

Apr 06, 202042:08
Podcast Awal 2020: Cang Panah Dua Tahun Breedie (Part 1)

Podcast Awal 2020: Cang Panah Dua Tahun Breedie (Part 1)

Tak ada sesuatu yang baru memasuki tahun 2020. Resolusi yang dianggap tepat, salah satunya dengan memulai obrolan di kedai kopi. Sekian lama, akhirnya Razi berkenan membongkar aib Breedie yang kini sudah berusia dua tahun. Dari duka yang layak dibikin kelakar, ragam karakter penulis yang serba 'masa bodoh', dan rasa percaya diri pada segmentasi yang ada, sembari terus terbuka pada hal-hal baru. 

Jan 11, 202017:12
Podcast Breedie Episode 4 – Pengantar Adat Berdaulat, Bersama Affan Ramli

Podcast Breedie Episode 4 – Pengantar Adat Berdaulat, Bersama Affan Ramli

“Kami orang Aceh ini keras, tidak sama dengan suku-suku lain, apalagi kalau urusan berusaha, kami susah bekerjasama, lebih suka bekerja sendiri-sendiri,” timpal lelaki necis yang tadinya datang menggunakan mobil baru itu.

Seisi ruang terdiam. Roem bertanya, “Selain untuk sembahyang, meunasah di gampong-gampong itu biasanya digunakan untuk apa lagi?”

Lalu seorang lelaki sepuh berkemeja lusuh dengan sarung dan kopiah menjawab pelan, “Di situ biasanya kita ngobrol tentang berbagai persoalan, lalu bersepakat melakukan sesuatu bersama-sama.”

Roem hampir maklum, “Jadi, di Aceh sini, kerja bersama-sama itu sebenarnya tradisi ya, Pak?” Lelaki tua itu tersenyum mengangguk. Lainnya masih terdiam. Beberapa menunduk sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Percakapan di atas saya kutip dari Roem Topatimasang dalam pengantar buku Adat Berdaulat, Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh (2015). Dari pengalamannya menyambangi satu gampong di Peukan Bada, Aceh Besar, September 2005 –tepatnya sembilan bulan usai bencana Tsunami itu, Roem menyadari bahwa ikhtiar untuk menggalang gerakan kolektif masyarakat adat di Aceh bukanlah kerja mudah.

Tantangan lainnya disampaikan Affan Ramli, salah seorang penulis di buku tersebut. Bulan Juli lalu, ia mampir ke KontraS Aceh. Dengan runut dan pelan, Affan mengajak saya dan teman-teman berkontemplasi, selagi ia bercerita tentang sejarah kapitalisme di Aceh.

Paparannya mudah dimengerti, sampai-sampai keseruannya keburu tanggung dinikmati hanya dalam sekali tatap muka. Dari caranya bertutur, Affan seolah mengiyakan Roem dalam pengantar buku ini, bahwa “tidak mudah memahami bahasa Das Kapital yang sarat dengan peristilahan filsafat Jerman yang pelik itu.”

Istilah pelipatgandaan primitif, akumulasi modal dan sebagainya seringkali bikin garuk-garuk kepala. Orang-orang seperti Affan dan pegiat sipil lainnya, mengutip saran Roem, punya tanggung jawab untuk menjelaskannya dengan bahasa yang lebih sederhana untuk dipahami kalangan yang lebih luas, “terutama bagi warga masyarakat adat lokal di pelosok-pelosok Aceh,” tulisnya.

Ini jelas bukan kerja ‘kaleng-kaleng’. Tanpa penyederhanaan, kita terus saja memisahkan masyarakat dari substansi persoalan yang dialaminya. Penguasaan alas dan alat produksi oleh para pemodal yang berlangsung sampai hari ini, setidaknya turut andil melatari konflik bersenjata (dulu) maupun aturan-aturan diskriminatif (kini) yang dipicu politik identitas.

Pada waktunya, muncul beberapa pertanyaan penting untuk ditanggapi bersama: apa penyebab Aceh tak kunjung punya peruntungan atas pergolakan ini? dan, kenapa adat -yang selama ini kita pahami sekadar perangkat simbolik- ternyata punya potensi besar melawan kapitalisme di Aceh?

Dan jawaban yang paling mengena dari Affan, “Kita tak pernah benar-benar mengerti apa yang kita hadapi sejak ratusan tahun lalu.”

Kalimat itulah yang mengawali diskusi panjang kami.

Sedikit catatan, beberapa cuplikan diskusi bersama Affan sempat saya rekam seadanya, dengan berpikir, “ini bisa didengar lagi kapan-kapan.” Namun, setelah beberapa bulan mengelola siniar Breedie dengan segenap keterbatasannya, saya tak sengaja menemukan rekaman ini lagi di laptop.

Tiga jam berselang, ponsel berbunyi. Dari ujung pesan WhatsApp, teman saya Azharul Husna mengirim saran, “Bro, ke depan qe arsipkan aja rekaman diskusi sabtuan kita, maunya biar bisa dipublis juga ke kawan-kawan yang gak sempat datang.”

Sambil memandangi file MP3 bernama ‘Affan 25 Juli 2019 (15.43)’ ini di layar, saya tiba-tiba menepuk jidat.

“Wadoh, kenapa gak dari kemaren-kemaren ya!”


Breedie Podcast adalah rubrik baru di Breedie yang tayang sejak April. Cuap-cuap ala Breedie ini dipandu host Fuadi Mardhatillah bersama co-host dadakan lainnya.

Dec 04, 201937:53
Podcast Breedie Episode 3 – Azharul Husna: Bergerak dalam Kesadaran Semu itu, Nonsense!

Podcast Breedie Episode 3 – Azharul Husna: Bergerak dalam Kesadaran Semu itu, Nonsense!

Geraknya masih cekatan. Kendati jelang petang, dahaga puasa kian memuncak. Namun, Azharul Husna masih giat bercakap. Perempuan yang akrab disapa Nana ini tak keberatan disebut ‘nyinyir’ karena idealismenya. Hal ini pula yang menarik saya untuk berbincang lebih jauh.

Saya coba mengingat, kali pertama kami bertemu akhir 2016 silam. Ketika itu, secara terpisah saya dan Nana memilih jadi sukarelawan usai bencana gempa bumi di Pidie Jaya. Setelahnya, kami kerap bersua, utamanya jika ada diskusi terkait Hak Asasi Manusia yang dihelat beberapa jaringan lembaga swadaya.

Nana mengakhiri masa baktinya di Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) sekira satu tahun yang lalu. Dia kini aktif di lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh.

Saat mengobrol untuk Breedie Podcast, Nana terlihat tak kenal lelah. Ia antusias menjawab lebih banyak pertanyaan dari saya.

Perhatiannya terhadap isu perempuan tak lagi diragukan. Terlebih, seiring meningkatnya eskalasi kekerasan terhadap perempuan yang ia temui di lapangan beberapa tahun terakhir, kian meyakinkan Nana untuk tetap bergiat di isu ini.

Saya nyaris tercekat saat mendengar cerita-ceritanya. Misalnya, duka senyap dari pedalaman Nisam Antara di Aceh Utara. Tentang seorang isteri yang sampai sekarang masih menyiapkan baju lebaran untuk suaminya. Padahal, sang suami sudah lama tak pulang ke rumah sejak konflik, karena dihilangkan secara paksa.

“Ada sisi lain dari situasi trauma yang sulit kita pahami, dan psikologi dari segelintir masyarakat semacam ini tak nampak di permukaan, entah kita cenderung pemaaf,” ujarnya.

Saat itu saya hanya menerawang ingatan ke beberapa kasus kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi. Semua acak, parsial, tak terlihat sistematis. Tapi bukankah demikian cara menyamarkan ini semua, agar kita dengan gampang mengatakan, “semua baik-baik saja”?

Impunitas sudah di depan mata, batin saya.

Breedie Podcast episode 3 direkam pada satu petang di tanggal 8 Mei 2019, tepat di paruh awal Ramadan. Bukan kebetulan jika di hari yang sama kita memperingati 26 tahun kematian Marsinah; perempuan di Jawa Timur yang terkenal dengan perjuangannya terhadap hak-hak buruk.

Obrolan kami di edisi kali ini berkisar pada persoalan rantai impunitas, kesadaran semu, luka para penyintas konflik Aceh, dan hal yang sama-sama kami minati, sastra. Perbincangannya sangat cair, diselip gelak tawa, dan mengalir begitu saja.

Sampai-sampai saya lupa ada kertas kecil berisi list pertanyaan penting untuk mengarahkan framing kami, saat itu.

May 30, 201944:50
Podcast Breedie Episode 2 – Iqbal Jelatank: Musik, Melankolia dan Kritik Sosial
Apr 16, 201915:41
Podcast Breedie Episode 1 - Sekapur Sirih

Podcast Breedie Episode 1 - Sekapur Sirih

Haloo Breeders

Apr 11, 201907:43