
Breath & Bread
By Breath & Bread


Nama Baik
Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas. Nama baik bukan sekadar label atau identitas, tapi merupakan refleksi dari karakter dan hidup seseorang. Ketika kita mendengar nama seseorang, secara otomatis kita akan mengaitkannya dengan kesan tertentu—baik atau buruk. Nama bisa membangkitkan kepercayaan, tetapi juga bisa memicu keraguan. Coba pikirkan satu nama yang Anda kenal. Apa kesan yang muncul? Apakah orang ini jujur, bisa dipercaya, bertanggung jawab, dan mencintai Tuhan? Atau malah sebaliknya—tidak bisa dipercaya, banyak akal, suka berjanji tapi tidak menepati? Nama baik adalah aset yang sangat berharga. Alkitab menegaskan bahwa nilainya melebihi emas dan perak.

Berkat di Tangan Orang Bijak
"Baiklah juga tuanku Firaun berbuat begini, yakni menempatkan peneliti atas negeri ini, dan dalam tujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima (20%) dari hasil tanah Mesir." Kita sering kali memaknai mukjizat sebagai peristiwa luar biasa yang melampaui akal—seperti sakit disembuhkan secara ajaib, kekurangan dipulihkan secara tiba-tiba, atau mukjizat keuangan yang tak terduga. Namun, ada satu jenis mukjizat yang sering kali kita abaikan, yaitu mukjizat dalam pengelolaan. Perhatikan kehidupan Yusuf dalam Kejadian 41. Yusuf memberikan nasihat kepada Firaun untuk memungut 20% dari hasil panen selama tujuh tahun kelimpahan. Strategi itu tampak sederhana, tetapi di baliknya tersembunyi hikmat ilahi. Yusuf tidak hanya bermimpi atau menafsirkan mimpi—ia mengelola berkat dengan bijaksana. Dan melalui pengelolaan itulah, Mesir selamat dari kelaparan.

Menanti Dengan Kerinduan
Dan ketika Ia makan bersama-sama dengan mereka, Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem dan menyuruh mereka menanti janji Bapa. Maka kembalilah mereka ke Yerusalem. Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama. Hari-hari ini terasa panjang, sunyi, penuh tanya. Setelah Yesus terangkat ke surga, para murid kembali ke Yerusalem seperti yang diperintahkan-Nya. Mereka naik ke ruang atas, sebuah tempat yang dulu menjadi saksi perjamuan terakhir dan kini menjadi tempat untuk menunggu janji yang belum mereka mengerti sepenuhnya. Mereka tidak tahu bagaimana janji itu akan digenapi. Mereka hanya tahu satu hal: Yesus menyuruh mereka menanti. Maka mereka menanti—dengan kerinduan. Kerinduan itu bukan kerinduan biasa. Itu bukan sekadar keinginan untuk melihat sesuatu terjadi. Itu adalah kerinduan yang lahir dari cinta, dan kerinduan akan hadirat Tuhan.

Kloning Iman
Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan tetap percaya. Dalam kehidupan iman, banyak orang mengira bahwa karena mereka lahir dari keluarga Kristen atau dibimbing oleh hamba Tuhan yang luar biasa, maka iman mereka akan otomatis kuat. Namun, iman tidak bisa diwariskan begitu saja seperti warisan harta atau tradisi keluarga. Iman tidak bisa dikloning. Lihatlah Ishak, anak dari Abraham, bapa orang beriman. Meski ia tumbuh di bawah pengaruh ayah yang luar biasa dalam imannya, namun Ishak tetap harus mengalami Allah secara pribadi. Ia tidak bisa mengandalkan iman Abraham untuk menjalani tantangan hidupnya. Ia harus berjalan bersama Allah dengan langkahnya sendiri. Demikian pula dengan kita. Kita tidak bisa mengkloning iman orang tua kita, gembala kita, atau mentor rohani kita.

Tuhan Sudah Mati
Konsep "Tuhan sudah mati" dan anggapan bahwa Tuhan tidak berguna bagi manusia modern adalah topik yang mendalam dan penuh tantangan. Konsep ini dipopulerkan oleh Nietzsche, sering diinterpretasikan sebagai penanda berakhirnya pengaruh agama dan kepercayaan tradisional dalam masyarakat modern yang didominasi oleh ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas. Ketika Nietzsche mengatakan "Tuhan sudah mati", ia tidak berbicara tentang kematian fisik, melainkan tentang hilangnya pengaruh Tuhan dalam membentuk nilai-nilai dan moralitas manusia. Bagi banyak orang modern, Tuhan mungkin terasa jauh, tidak relevan, dan bahkan tidak ada. Namun, apakah ini berarti Tuhan benar-benar mati? Ataukah manusialah yang telah menjauh dari diri-Nya? Di tengah kemajuan teknologi dan materialisme, manusia modern sering kali merasa bahwa mereka tidak membutuhkan Tuhan.

Titik Nadir Kehidupan
Ada saat-saat dalam hidup ketika kita merasa terjatuh ke titik terendah, seolah-olah semua harapan telah sirna dan jalan di depan terasa gelap gulita. Titik nadir kehidupan adalah saat di mana kita merasa tidak ada lagi yang bisa dipegang, tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Mungkin itu adalah saat kehilangan orang yang kita cintai, kegagalan yang menghancurkan impian, atau kesendirian yang terasa begitu menyiksa. Dalam momen-momen seperti itu, kita mungkin bertanya, "Di manakah Tuhan? Dosa apakah kita? Mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi?" Namun, dalam kekristenan, titik nadir bukanlah akhir dari segalanya. Justru seringkali di titik terendah itulah kita menemukan kehadiran Tuhan yang paling nyata. Ingatlah kisah Yunus yang berada di dalam perut ikan besar.

Pelayanan Sunyi
Dalam kehidupan beriman, sering kali kita terjebak dalam keinginan untuk dilihat, diakui, dan dipuji oleh orang lain. Pelayanan yang terlihat spektakuler, berada di panggung, atau menduduki posisi tertentu seolah menjadi tolok ukur kesuksesan dalam melayani Tuhan. Namun, firman Tuhan dalam Matius 6:6 mengingatkan kita: "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." Allah tidak memandang seberapa besar atau kecil pelayanan kita di mata manusia. Yang Ia lihat adalah ketulusan hati dan kemurnian motivasi kita dalam melayani. Seorang yang saya kenal telah menjalani pelayanan sunyi sebagai pendukung setiap pagi—bahkan tanpa sorotan publik—namun dengan hati yang setia. Pelayanan semacam inilah yang berharga di mata Tuhan.

Pembenaran Oleh Iman
Di tengah kegelapan dosa yang membelenggu umat manusia, ada sebuah cahaya terang yang menerangi jalan menuju perdamaian dengan Sang Pencipta. Cahaya itu adalah pembenaran oleh iman—sebuah kebenaran yang mengubah segalanya. Ini bukan sekadar doktrin teologis yang rumit, melainkan kabar baik yang menghidupkan, menguatkan, dan memberikan harapan bagi setiap orang yang percaya. Pembenaran oleh iman adalah kisah tentang bagaimana Allah, dalam kasih-Nya yang tak terbatas, memulihkan hubungan yang rusak antara manusia dan diri-Nya. Kita, manusia, telah jatuh dalam dosa, seperti dikatakan dalam Roma 3:23: "Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah." Dosa bukan hanya pelanggaran terhadap hukum, tetapi juga pemisah yang menjauhkan kita dari hadirat-Nya yang kudus. Namun, Allah tidak membiarkan kita terhilang dalam kegelapan. Melalui Yesus Kristus, Ia memberikan jalan keluar. Yesus, yang hidup tanpa dosa, rela menanggung hukuman dosa kita di kayu salib. Kematian-Nya adalah harga yang dibayar lunas untuk membebaskan kita dari belenggu dosa. Kebangkitan-Nya membuktikan kemenangan atas maut dan membuka jalan bagi hidup yang baru dalam persekutuan dengan Allah.

Jualan Agama
Di tengah gemerlap dunia yang semakin materialistis, ada sebuah fenomena yang mengusik hati nurani, yaitu jualan agama. Istilah ini mungkin terdengar keras, tetapi ia menggambarkan sebuah realita yang tidak bisa diabaikan. Betapa sering kita melihat iman—yang seharusnya menjadi hubungan suci antara manusia dan Sang Pencipta—dijadikan komoditas untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Padahal, agama dalam esensinya adalah tentang kasih, pengorbanan, dan kebenaran. Yesus Kristus sendiri mengajarkan untuk hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati. Ia mengusir para pedagang dari Bait Suci dan menegaskan bahwa rumah Tuhan bukanlah tempat untuk mencari keuntungan duniawi. Namun hari ini, kita melihat banyak yang mengatasnamakan agama untuk mengejar kekayaan, popularitas, atau kekuasaan—melenceng jauh dari maksud ilahi yang sejati.

Mengapa Yesus Berdoa
Dalam keyakinan Kristen, Yesus Kristus dipahami sebagai Tuhan yang menjadi manusia—sebuah misteri yang mendalam dan penuh makna. Meskipun Yesus adalah Tuhan, Ia juga berdoa kepada Allah Bapa, Pencipta alam semesta. Hal ini mungkin tampak membingungkan, tetapi dalam kerangka teologi Kristen, terutama melalui lensa Trinitas, hal ini dapat dipahami sebagai bagian dari rencana ilahi yang agung. Trinitas adalah sebuah konsep yang mengungkapkan satu Allah dalam tiga pribadi: Bapa, Anak (yang adalah Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Ketiga pribadi ini setara dan bersama-sama membentuk satu kesatuan yang sempurna. Yesus sebagai Anak adalah salah satu pribadi dalam Trinitas. Namun, ketika Ia datang ke dunia dalam wujud manusia, Ia mengambil sifat manusia sepenuhnya—kecuali dosa. Dalam kemanusiaan-Nya, Yesus mengalami kehidupan manusia secara utuh, termasuk kebutuhan untuk berdoa dan bersandar kepada Bapa, menunjukkan kerendahan hati dan ketaatan-Nya dalam rencana penebusan umat manusia.

Keserakahan
Dalam keheningan malam, ketika bintang-bintang bersinar lembut di langit, hati manusia sering kali terjebak dalam bayang-bayang keserakahan. Keserakahan bagaikan kabut tebal yang menyelimuti jiwa, mengaburkan pandangan kita terhadap kasih dan kebenaran yang telah Tuhan tanamkan dalam hati setiap insan. Ia adalah serat halus yang perlahan membelenggu dan mengikat kita pada hal-hal fana yang tak pernah mampu memuaskan dahaga rohani. Alkitab mengingatkan kita dalam 1 Timotius 6:10, "Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." Keserakahan, yang sering kali berawal dari keinginan untuk memiliki lebih, pada akhirnya justru menjauhkan kita dari sumber kebahagiaan sejati, yaitu Tuhan sendiri.

Carilah Dahulu Kerajaan Allah dan Kebenarannya
"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Ayat ini, yang diucapkan oleh Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit, adalah sebuah permata yang memancarkan cahaya kebenaran tentang prioritas hidup. Dalam konteksnya, Yesus sedang mengajar orang banyak tentang kekhawatiran akan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Dia mengingatkan mereka bahwa Bapa di surga tahu apa yang kita butuhkan, bahkan sebelum kita memintanya. Namun, Yesus tidak berhenti di situ. Dia memberikan sebuah prinsip hidup yang mendasar. Perintah-Nya: "Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya." Artinya, kita dipanggil untuk mengutamakan Kerajaan Allah di atas segalanya. Kerajaan Allah bukanlah sebuah wilayah geografis atau kekuasaan politik, melainkan pemerintahan Allah dalam hidup kita—di mana kehendak-Nya ditaati, kasih-Nya diwujudkan, dan kebenaran-Nya dijalani setiap hari.

Bukti Yesus Tuhan
Dalam kehidupan iman Kristen, keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan merupakan fondasi yang tak tergoyahkan. Namun, bagi sebagian orang, pertanyaan tentang bagaimana membuktikan keilahian Yesus mungkin menjadi tantangan. Melalui uraian ini, mari kita merenungkan beberapa aspek yang dapat membantu kita memahami dan meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan. Pertama, nubuat yang digenapi. Sejak zaman Perjanjian Lama, Allah telah menyampaikan nubuat tentang kedatangan Mesias, Sang Juruselamat. Kitab Yesaya pasal 7 ayat 14 menubuatkan kelahiran seorang anak dari seorang perawan, dan Mikha 5 ayat 2 menyebutkan tempat kelahirannya di Betlehem. Yesus datang ke dunia sebagai penggenapan dari nubuat-nubuat tersebut. Tidak ada tokoh lain dalam sejarah yang memenuhi begitu banyak nubuat secara tepat dan rinci seperti yang terjadi dalam diri Yesus Kristus.

Keberadaan Allah
Allah—Dia yang ada sebelum segala sesuatu ada. Dia yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang tak terbatas oleh waktu, ruang, atau materi. Sebelum langit dan bumi diciptakan, sebelum bintang-bintang bersinar, sebelum manusia pertama menginjakkan kaki di bumi—Allah sudah ada. Dia adalah "Aku adalah Aku," yang keberadaan-Nya tidak bergantung pada apa pun dan siapa pun. Kejadian 1:1 berkata, "Pada mulanya Allah..." Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa sebelum ada “pada mulanya,” Allah sudah ada. Dialah satu-satunya Pencipta yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Pusat dari segala puisi cinta, Ia ada di luar ciptaan-Nya. Ia melampaui segala yang terlihat dan tidak terlihat. Langit yang luas, galaksi yang tak terhitung, dan alam semesta yang tak terukur—semuanya tidak dapat membatasi-Nya.

Berkat Terbesar
Di tengah gemerlap dunia, kita sering kali terbuai oleh berkat-berkat jasmani yang tampak nyata di depan mata. Kekayaan, kesehatan, kesuksesan, dan hubungan yang harmonis seolah menjadi tolok ukur kebahagiaan. Kita berlari mengejar semua itu, berusaha meraihnya dengan segala daya dan upaya. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenung: apa sebenarnya berkat terbesar yang pernah kita terima? Apa yang akan tetap bertahan ketika segala sesuatu yang fana ini akhirnya kita tinggalkan? Keselamatan—itulah jawabannya. Keselamatan dalam Yesus Kristus adalah berkat terbesar yang pernah kita miliki, jauh melampaui segala harta benda atau pencapaian duniawi. Keselamatan ini bukanlah sesuatu yang bisa kita beli, usahakan, atau warisi. Ia adalah anugerah murni dari Allah yang diberikan kepada kita karena kasih-Nya yang tak terbatas.

Tujuan Kita Diciptakan
Pada mulanya, ketika langit dan bumi masih berselimutkan keheningan, Allah menciptakan kita dengan tangan-Nya yang penuh kasih. Dari debu tanah, Ia membentuk manusia, dan dengan napas-Nya yang hidup, Dia memberikan jiwa yang bernyala. Kita bukanlah hasil kebetulan atau ciptaan yang tanpa makna. Kita adalah mahakarya-Nya, diciptakan dengan tujuan yang mulia dan indah. Allah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya. Dalam diri kita, Dia menanamkan benih keputusan, kasih, dan kebijaksanaan. Kita adalah cermin dari kemuliaan-Nya, diciptakan untuk memantulkan cahaya kasih-Nya di tengah dunia yang gelap. Setiap napas, setiap detak jantung, adalah panggilan untuk mengenal Dia lebih dalam—untuk menjadi serupa dengan-Nya dalam karakter dan kebenaran.

Kasih Yang Mengubahkan
Hari ini adalah Jumat Agung, hari yang penuh dengan kesunyian dan kesakitan, namun juga hari yang memancarkan kasih terbesar sepanjang masa. Di atas bukit Golgota, langit menjadi gelap, bumi berguncang, dan hati manusia terbelah antara keputusasaan dan pengharapan. Di kayu salib, Yesus tergantung, menanggung dosa dunia, dan mengorbankan diri-Nya untuk kita. Ini bukan sekadar kisah tragedi, tetapi kisah kasih yang mengubah segalanya. Jumat Agung mengingatkan kita akan harga yang harus dibayar untuk keselamatan kita. Yesus, yang tidak berdosa, rela menanggung hukuman yang seharusnya menjadi milik kita. Ia, yang adalah Raja atas segala raja, merendahkan diri-Nya demi menebus umat manusia.

Allah Tritunggal
Ketika kita merenungkan keberadaan manusia, Alkitab menyatakan bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia terdiri dari tiga aspek yang tak terpisahkan, yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Ketiga aspek ini dapat membantu kita memahami misteri Allah Tritunggal—Bapa, Anak, dan Roh Kudus—yang adalah satu Allah dalam tiga pribadi. Pertama, tubuh ibarat Allah Bapa sebagai sumber kehidupan. Tubuh adalah aspek fisik yang terlihat dari manusia. Melalui tubuh, kita berinteraksi dengan dunia nyata. Dalam hubungannya dengan Allah Tritunggal, tubuh dapat diibaratkan sebagai Allah Bapa, yang adalah sumber segala kehidupan dan pencipta alam semesta. Seperti tubuh yang memberikan wujud nyata bagi manusia, Bapa adalah wujud kehadiran Allah yang menjadi nyata bagi ciptaan-Nya.

Jangan Gagal Fokus
Setelah kita menyadari bahwa kita diciptakan untuk mencerminkan kemuliaan Allah, berelasi dengan-Nya, memuliakan Dia, dan mengelola ciptaan-Nya, langkah selanjutnya adalah menjaga fokus kita agar tidak melenceng dari tujuan mulia ini. Hidup ini penuh dengan godaan dan gangguan yang bisa membuat kita kehilangan arah. Kita bisa terjebak dalam mengejar hal-hal yang sementara, seperti kekayaan, popularitas, atau kesenangan duniawi, sementara melupakan apa yang benar-benar penting. Yesus mengingatkan kita dalam Matius 6:33: "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Ini adalah prinsip yang harus menjadi pusat hidup kita. Ketika kita mencari Allah dan Kerajaan-Nya terlebih dahulu, segala sesuatu yang kita butuhkan akan diberikan kepada kita sesuai dengan kehendak-Nya.

Mengalahkan Dosa
Dosa—kata yang kecil, namun dampaknya begitu besar dan menghancurkan. Sejak dosa memasuki dunia melalui ketidaktaatan Adam dan Hawa, kerusakan pun mulai merajalela. Hubungan manusia dengan Allah retak, keharmonisan ciptaan terganggu, dan maut mulai berkuasa. Dosa adalah akar dari segala penderitaan, kesedihan, dan kehancuran yang kita lihat dan alami hari ini. Alkitab dengan jelas menyatakan, "Upah dosa ialah maut." Dosa tidak pernah membawa kebaikan. Ia mungkin menawarkan kesenangan sesaat, kepuasan duniawi, atau kebebasan yang palsu, tetapi pada akhirnya, dosa selalu membawa kehancuran. Ia merusak hubungan kita dengan Allah, dengan sesama, dan bahkan merusak diri kita sendiri. Kita dapat melihat buktinya dalam kehidupan.

Apa yang Kita Banggakan
Dalam hidup ini, begitu banyak hal yang bisa membuat kita merasa bangga. Mungkin kita membanggakan prestasi yang telah kita raih, harta yang kita kumpulkan, atau bahkan pengakuan yang kita dapat dari orang lain. Namun, di tengah gemerlap dunia yang menawarkan berbagai kebanggaan, ada satu pertanyaan yang perlu kita renungkan: Apa yang seharusnya paling kita banggakan dalam hidup ini? Firman Tuhan mengingatkan kita: "Tetapi barangsiapa bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan." (Yeremia 9:24, 1 Korintus 1:31) Kebanggaan sejati bukanlah tentang apa yang kita miliki atau capai, tetapi tentang siapa kita di dalam Tuhan. Kebanggaan sejati adalah ketika kita mengenal dan mengalami kasih karunia-Nya, ketika kita menyadari bahwa kita adalah anak-anak-Nya yang dikasihi, dan ketika kita hidup dalam tujuan yang telah Dia tetapkan bagi kita. Kita bisa saja bangga akan kemampuan kita, tetapi ingatlah bahwa setiap talenta dan karunia berasal dari Tuhan.

Creation Ex Nihilo
Pada mulanya, ketika belum ada apa-apa, ketika langit dan bumi masih sunyi dan kosong, Allah berkata, "Jadilah terang!" Dan terang itu pun ada. Inilah keajaiban iman Kristen: ex nihilo—penciptaan dari ketiadaan. Dengan firman-Nya yang penuh kuasa, Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Langit, bumi, laut, dan segala isinya—semuanya lahir dari tangan-Nya yang penuh hikmat dan kasih. Karena iman, kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat. Hal ini mengingatkan kita akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah. Dia tidak membutuhkan bahan baku atau alat untuk menciptakan. Firman-Nya saja sudah cukup untuk membentuk segala sesuatu.

Waktu Tuhan
Di tengah-tengah kehidupan, kita sering kali terjebak dalam ketergesa-gesaan. Waktu kita diukur oleh detik, menit, dan jam. Kita merencanakan, mengejar, dan kadang merasa kecewa ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan harapan. Namun, Alkitab mengingatkan kita bahwa waktu Tuhan berbeda dengan waktu kita. Dia tidak terikat oleh detik atau jam seperti kita. Bagi-Nya, satu hari bisa seperti seribu tahun, dan seribu tahun seperti satu hari. Waktu-Nya adalah waktu yang sempurna, meskipun sering kali tidak kita pahami. Tuhan melihat gambaran besar—Ia tahu awal, akhir, dan segala sesuatu di antaranya. Ketika kita merasa doa kita tidak dijawab atau rencana kita seolah gagal, ingatlah bahwa Tuhan sedang bekerja dalam waktu-Nya.

Karunia Mujizat
Di tengah perjalanan kita sebagai orang Kristen, karunia mukjizat sering menjadi topik yang mengundang rasa ingin tahu dan pertanyaan mendalam. Apakah karunia ini masih terjadi hingga hari ini? Untuk merenungkannya, mari kita menyelami firman Tuhan dan pengalaman iman kita. Mukjizat dalam Alkitab adalah tanda nyata dari kuasa Allah yang melampaui batas-batas alam. Dari peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir, di mana Allah membelah Laut Merah, hingga mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Yesus dan para rasul—semua ini menunjukkan bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu dan peduli terhadap umat-Nya. Yesus mengubah air menjadi anggur, menyembuhkan orang sakit, bahkan membangkitkan orang mati. Para rasul, seperti Petrus, juga melakukan mukjizat, menyembuhkan orang lumpuh, dan membawa banyak orang kepada iman.

Kesetiaan
Kesuksesan di mata Tuhan adalah kesetiaan. Kesetiaan adalah salah satu karakteristik terpenting yang harus dimiliki oleh seorang Kristen. Kesetiaan bukan hanya sekadar komitmen, tetapi juga menunjukkan hubungan yang erat dengan Tuhan dan pengakuan akan kedaulatan-Nya dalam hidup kita. Melalui kesetiaan, kita belajar untuk bertahan dalam iman, meski tantangan dan kesulitan datang silih berganti. Dalam Amsal 3:3 tertulis: "Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu." Seorang ibu yang sedang berjuang dalam kesakitan akibat penyakit kanker stadium akhir berkata, "Beri kepadaku kesetiaan, ya Tuhan, dalam perjuangan ini. Janganlah aku sampai menyangka Engkau meninggalkanku."

Menunggu dan Mempersiapkan
Dalam kehidupan ini, ada saat-saat ketika kita dipanggil untuk menunggu. Menunggu adalah bagian yang tak terelakkan dari perjalanan iman kita. Seperti petani yang menanti musim panen atau seperti Maria dan Yusuf yang menantikan kelahiran Sang Mesias, kita pun sering kali berada dalam ruang penantian. Namun, Alkitab mengajarkan bahwa menunggu bukanlah sekadar berdiam diri. Menunggu adalah masa untuk mempersiapkan diri, untuk bertumbuh, dan untuk memperdalam hubungan kita dengan Tuhan. Tuhan sering kali menggunakan masa penantian untuk membentuk karakter kita.

Kita Perlu Yesus
Di tengah gemuruh kehidupan, kita sering kali merasa mampu, kuat, dan mandiri. Kita berpikir bahwa dengan usaha kita sendiri, kita bisa mencapai segalanya. Tapi betapa sering kita lupa bahwa tanpa Yesus, kita sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Tanpa Yesus, kita seperti debu yang diterbangkan angin, hilang tanpa jejak. Tanpa Yesus, kita seperti ranting yang terlepas dari pokok anggur—kering dan tidak berbuah. Yohanes 15:5 mengingatkan kita: "Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Tanpa Yesus, hidup kita kehilangan makna. Tidak mungkin memiliki harta, jabatan, atau kesuksesan sejati, karena semua itu hanyalah bayang-bayang yang cepat berlalu.

Keindahan Dalam Memberi
Ada sebuah kebenaran yang sering kali terlupakan dalam kehidupan kita sebagai orang percaya. Memberi bukan sekadar tindakan, melainkan sebuah panggilan hati yang mencerminkan kasih Tuhan. Dalam Alkitab, Tuhan mengajarkan kita untuk memberi dengan sukacita, bukan karena paksaan atau keharusan. Seperti yang tertulis dalam 2 Korintus 9:7: "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." Memberi adalah bentuk syukur kita atas segala berkat yang telah Tuhan limpahkan dalam hidup kita. Ketika kita memberi, kita mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya. Kita hanyalah penatalayan yang dipercaya untuk mengelola berkat-Nya.

Iman Tanpa Melihat
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali membutuhkan bukti untuk meyakini sesuatu. Manusia pada umumnya sulit percaya tanpa melihat; karena itu, mereka baru percaya setelah ada bukti. Sementara itu, Tuhan berkata, "Percayalah dulu, maka akan Kutunjukkan kepadamu." Dasar kekristenan adalah iman—percaya tanpa harus melihat. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang belum kita lihat. Iman adalah fondasi kehidupan kekristenan, di mana kita percaya sepenuhnya pada janji-janji Tuhan, meskipun kita tidak selalu melihatnya dengan mata fisik. Iman yang sejati bukan sekadar menjadikan Allah sebagai objek kepercayaan, tetapi juga sebagai sumber kehidupan kita.

Karunia Berbahasa Roh
Di dalam kekayaan karunia Roh Kudus, karunia berbahasa roh sering menjadi topik yang mengundang rasa ingin tahu dan perdebatan. Karunia berbahasa roh, atau glossolalia, adalah kemampuan yang diberikan oleh Roh Kudus untuk berbicara dalam bahasa yang tidak dikenal atau bahasa rohani. Karunia ini pertama kali muncul dalam Kisah Para Rasul pasal 2, ketika para murid dipenuhi Roh Kudus pada hari Pentakosta. Mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa lain, sehingga orang-orang dari berbagai bangsa yang hadir saat itu dapat mendengar berita Injil dalam bahasa mereka sendiri. Peristiwa ini menjadi tanda kuasa Allah yang melampaui batas-batas manusia dan budaya.

Sikap, Akhlak dan Tata Krama
Kepandaian dan karisma bisa membawa seseorang kepada pencapaian, tetapi untuk mempertahankannya dibutuhkan sikap, akhlak, dan tata krama yang benar. Dalam Alkitab, kita menemukan banyak teladan mengenai ketiga hal tersebut, salah satunya adalah Yusuf. Dalam Kejadian 37–50, kita dapat melihat bagaimana Yusuf menghadapi tantangan dengan integritas yang luar biasa. Mari kita merenungkan ayat ini dan belajar dari sikap serta perilakunya. Dalam Kejadian 39:2–4, kita membaca bahwa meskipun Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya dan menjadi budak di rumah Potifar, ia tetap menunjukkan sikap yang positif. Ia bekerja dengan tekun dan memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya. Sikap optimis dan tanggung jawab Yusuf menjadikannya seorang hamba yang sangat dihargai oleh tuannya. Sikap ini mengingatkan kita untuk selalu bersikap positif, meskipun dalam situasi dan keadaan yang sulit.

Rasa Cukup
Dalam perjalanan hidup ini, kita sering terjebak dalam keinginan untuk memiliki lebih. Kita terbiasa berpikir bahwa kebahagiaan dan kepuasan terletak pada apa yang kita miliki atau pencapaian yang kita raih. Namun, dalam kehidupan Kristen, kita diajarkan bahwa rasa cukup bukanlah tentang jumlah harta atau status, melainkan tentang bagaimana kita menemukan kepenuhan di dalam Allah. Ketika kita merenungkan Mazmur 23, kita diingatkan bahwa Tuhan adalah Gembala kita: "Aku tidak akan kekurangan." Itu adalah janji-Nya kepada kita. Ini menunjukkan bahwa ketika kita bersandar kepada Allah dan mempercayai-Nya, Dia akan menyediakan setiap kebutuhan kita. Ketercukupan sejati tidak berasal dari harta benda atau pencapaian dunia, melainkan dari hubungan intim dengan Sang Pencipta.

Proses Mencapai Tujuan
Setiap orang pasti memiliki tujuan dalam hidupnya, entah itu berkaitan dengan iman, karier, atau hubungan. Dalam renungan ini, kita akan merenungkan betapa pentingnya proses dalam mencapai tujuan. Sebelumnya, mari kita ingat bahwa Tuhan sudah merencanakan kehidupan kita dengan baik. Dalam Yeremia 29:11, Tuhan berjanji bahwa rencana-Nya untuk kita adalah damai sejahtera dan penuh harapan. Ini mengingatkan kita bahwa sebelum menetapkan tujuan, sebaiknya kita berdoa dan mencari petunjuk Tuhan—apakah tujuan yang kita impikan sejalan dengan kehendak-Nya. Kemudian, kita harus menyadari bahwa proses adalah bagian dari pertumbuhan kita. Kita akan menghadapi tantangan yang menguji kekuatan dan ketabahan kita.

Konsekuensi
Galatia 6:7 berkata, "Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan, karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya." Konsekuensi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Setiap tindakan, baik atau buruk, memiliki dampak yang berimplikasi pada diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Dalam iman Kristen, kita diajarkan untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan yang menuntun kita untuk membuat keputusan yang bijaksana. Pernahkah kita merenungkan betapa beratnya konsekuensi setiap keputusan yang kita buat? Sebagai orang percaya, kita diajarkan untuk tidak bersikap masa bodoh terhadap tindakan kita. Tuhan menasihati kita dalam ayat ini bahwa setiap tindakan memiliki akibat. Jika kita menabur kebaikan, kebenaran, dan kasih, kita akan menuai hasil yang baik. Namun, jika kita hidup dalam dosa, kebencian, dan kebohongan, kita akan menuai konsekuensi yang pahit.

Firman Tuhan Selalu Benar
Dalam perjalanan hidup setiap orang percaya, kepercayaan akan kebenaran Firman Tuhan menjadi pondasi yang tak tergoyahkan. Ketika kita membaca dan merenungkan Alkitab, kita sering diingatkan bahwa Firman-Mu adalah kebenaran. Ini menegaskan bahwa tidak peduli apapun situasi yang kita hadapi, kebenaran Tuhan selalu relevan dan tepat. Firman Tuhan tidak terikat oleh waktu. Sejak zaman dahulu hingga sekarang, kebenarannya tetap abadi dan terus membimbing umat-Nya. Dalam Mazmur 119:189 tertulis: Untuk selama-lamanya, Ya Tuhan Firman-Mu tetap teguh di Surga. Apa yang Allah katakan melalui Firman-Nya bersifat tetap dan tidak berubah meskipun dunia sekitar kita terus berkembang. Keyakinan bahwa Firman Tuhan selalu benar memberikan kita kekuatan di saat-saat sulit.

Keberanian dan Keahlian
Dalam Alkitab, kisah Daud dan Goliat adalah salah satu yang paling dikenal. Daud seorang gembala muda berani menghadapi Goliath, raksasa dari filistin yang menantang seluruh tentara Israel. Banyak orang mungkin terfokus pada keberanian Daud yang luar biasa tetapi ada satu aspek penting dalam kisah ini yang seringkali terabaikan. Keahlian dan bakat yang sudah diasah Daud sebelum ia berdiri menghadapi tantangan Goliat. Daud bukanlah sembarang pemuda sebagai gembala. Ia telah melewati banyak pengalaman berharga dalam menjaga domba-dombanya. Ia menghadapi singa dan beruang, mengalahkan musuh-musuh itu dengan keberanian dan ketangkasan yang luar biasa. Setiap pertemuan kecil yang dihadapinya membentuk karakter dan ketangkasannya. Allah telah mempersiapkan Daud melalui pengalaman-pengalaman ini, menjadikannya seseorang yang mampu mengambil langkah besar.

Pasti Ada Jalan
Dalam perjalanan hidup kita sering menghadapi situasi yang sulit dan penuh tantangan. Saat jalan di depan kita tampak gelap dan tidak ada solusi yang jelas, kita mungkin merasa bingung, putus asa, bahkan kehilangan harapan. Namun janji Tuhan tentang pasti ada jalan memberikan kita keyakinan bahwa Allah selalu menyediakan jalan bagi setiap masalah yang kita hadapi. Dalam setiap kesulitan, mari kita merenungkan kebenaran ini. Ketika kita merasa terjebak, kita perlu mengingat bahwa Allah berdaulat terhadap hidup kita. Allah tidak hanya mengetahui semua hal yang terjadi, tetapi dia juga membawa kita menuju masa depan yang penuh harapan. Dalam Yeremia pasal 29:11, Allah menegaskan bahwa rencana-Nya indah untuk kita, bukan untuk menghancurkan kita melainkan untuk memberikan kita masa depan yang baik. Keyakinan ini menciptakan rasa aman dalam diri kita.

Kegagalan dan Rencana Tuhan
Dalam perjalanan hidup kita sering mengalami berbagai tantangan dan kegagalan. Saat menghadapi situasi yang sulit kita mungkin bertanya-tanya, gimana Tuhan dalam semua ini? Apakah ada rancangan-Nya di balik kegagalan yang saya alami? Dalam lingkungan ini kita akan melihat bagaimana iman kita bisa bersandar pada rancangan Tuhan, bahkan di tengah kegagalan, Tuhan memiliki rancangan yang indah untuk setiap kehidupan kita. Dalam Yeremia 29:11, Tuhan berfirman: Sebab aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaku mengenai kamu. Demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan. Untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita mengalami kegagalan Tuhan selalu berjalan bersama kita.

Meragukan Tuhan
Dalam Matius 16:24, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Ada orang yang berpikir kalau mengikuti Yesus maka akan menikmati semua kelimpahan, kesenangan, berkat dan lainnya. Padahal, pengikut Kristus yang sungguh-sungguh dan benar, ia harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus. Karena pemahaman yang salah membuat orang meragukan Tuhan, bahkan mudah gugur imannya dalam mengikuti Yesus. Ketika persoalan dan masalah datang, penyakit, sakit hati dan lainnya, maka orang mulai meragukan Tuhan bahkan ada yang beralih dari-Nya. Meragukan Tuhan adalah pengalaman yang bisa dialami oleh siapa saja dalam perjalanan iman. Dalam iman Kristen, keraguan bukanlah hal asing melainkan bagian dari proses pencarian dan pertumbuhan dalam Alkitab.

Pengetahuan & Hikmat
Dalam perjalanan iman kita seringkali kita mendengar istilah pengetahuan dan hikmat digunakan secara bergantian. Namun sebagai orang percaya penting bagi kita untuk memahami perbedaan mendasar antara kedua konsep ini serta bagaimana keduanya dapat berperan dalam kehidupan kita. Pengetahuan adalah kumpulan informasi atau fakta yang kita peroleh melalui pengalaman pendidikan dan observasi. Ini adalah aspek kognitif yang melibatkan pemahaman tentang sesuatu, sedangkan hikmat adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut dengan cara yang benar dan bijaksana. Hikmat melibatkan pemahaman yang dalam dan penerapan nilai-nilai moral serta etika. Sebagai contoh, mengapa ada orang yang bersalah ditegur, menerima, namun ada orang yang bersalah ditegur malah marah-marah?

Takut Akan Tuhan
Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal 1:7). Takut akan Tuhan bukanlah berarti hidup dalam ketakutan atau kecemasan, tetapi merujuk pada rasa hormat, pujian dan penghormatan yang mendalam kepada-Nya. Sebagai orang percaya, takut akan Tuhan menjadi landasan bagi hubungan kita dengan-Nya dan pengertian kita tentang diri kita sendiri dan dunia sekitar. Makna takut akan Tuhan pertama: pengakuan atas kedaulatan Tuhan. Ketika kita memahami betapa besar dan maha kuasanya Tuhan ,kita mengakui posisi kita sebagai ciptaan yang bergantung pada-Nya.

Menyia-nyiakan Pemberian
Sebuah barang yang berharga ratusan ribu bisa menjadi bernilai miliaran bila di atasnya diberi tanda tangan dari Sang Maestro. Suatu hari Marcus Thuram kecil, berusia 10 tahun, anak dari Lilian Thuram Pemain bola Prancis dan Barcelona diberi hadiah oleh ayahnya yaitu sepasang sepatu bola yang telah ditandatangani oleh Lionel Messi, maestro sepak bola. Marcus kecil berpikir itu hanyalah sepasang sepatu bola biasa, maka ia memberikan sepatu itu kepada kawannya. Puluhan tahun kemudian ketika Marcus telah menjadi pemain sepak bola profesional, ia sangat menyesali tindakannya tersebut karena ia baru menyadari betapa bernilainya pemberian ayahnya waktu itu. Demikian juga dengan hidup kita. Pada dasarnya kita semua hanyalah debu tanah yang tidak berharga akan tetapi atas hidup kita ada tanda tangan darah Yesus Kristus Tuhan.

Kesempatan & Pergumulan
Dalam hidup setiap kita pasti menghadapi kesempatan dan pergumulan kedua hal ini sering kali berjalan beriringan. Kesempatan bisa datang ketika kita tengah berjuang dan pergumulan seringkali membuka mata kita pada berbagai peluang yang Tuhan sediakan. Dalam renungan ini mari kita kaji lebih dalam bagaimana kita bisa melihat setiap kesempatan dalam konteks pergumulan kita dan bagaimana Tuhan berperan dalam setiap proses tersebut. Kesempatan adalah sesuatu yang seringkali datang kepada kita tanpa kita sadari. Dalam Kolose 4:5 kita diingatkan untuk pergilah dan pergunakanlah waktu yang ada dengan bijaksana. Setiap kesempatan yang kita miliki dapat menjadi sarana untuk bertumbuh belajar dan melayani. Kita harus siap dan peka terhadap kesempatan yang Tuhan berikan, baik itu kesempatan untuk belajar membantu orang lain maupun memberitakan Injil.

Fungsi & Gengsi
Di dunia yang serba cepat dan kompetitif ini, kita sering kali terjebak dalam persepsi fungsi dan gengsi keduanya memiliki dampak yang besar dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun sejatinya sebagai orang Kristen kita diingatkan untuk mengutamakan nilai-nilai spiritual di atas gengsi duniawi. Seorang kawan yang cukup berada masih memakai mobil keluaran tahun 2013 memang masih kinclong karena perawat sangat baik. Banyak teman menanyakan kenapa nggak ganti mobil terbaru pasti ia sangat mampu. Dijawab olehnya, Saya memakai mobil karena fungsinya bukan karena gengsinya. Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir ia pelit atau kikir, tapi sesungguhnya ia bukan orang seperti itu.

Harga Mengikut Yesus
Untuk menerima anugerah keselamatan tidak membutuhkan apa-apa, namun untuk mengikuti Yesus dibutuhkan harga yang harus dibayar. Mengikuti Yesus adalah sebuah panggilan yang indah dan agung, tapi juga memerlukan komitmen yang mendalam serta pengorbanan yang tidak sedikit. Saat kita merenungkan dengan sungguh-sungguh tentang harga yang harus dibayar untuk mengikut Dia, kita diingatkan bahwa menjadi pengikut Kristus bukanlah sebuah perjalanan yang mudah dan sederhana. Yesus sendiri dengan tegas mengingatkan kita dalam Matius 16:24, jika seseorang ingin mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.

Belajar Melepaskan
Terkadang kebahagiaan didapat ketika kita berani melepaskan sesuatu. Pengkotbah 3:6 berkata: Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang. Terkadang kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan memiliki segala sesuatu, tetapi adalah bagaimana kita mampu melepaskan sesuatu. Melepaskan adalah sebuah proses yang sering kali sulit tetapi sangat penting dalam kehidupan iman kita. Dalam banyak aspek kita diajarkan untuk melepaskan beban rasa sakit, kebencian, kekecewaan, bahkan harapan-harapan yang tidak terpenuhi dan berani menerima keadaan apa adanya. Jika kita dapat melakukannya, maka hal tersebut juga sebenarnya dapat membuat kita berbahagia. Jadi jangan hanya mengejar untuk mencari dan mendapatkan, tetapi berlatihlah juga untuk melepaskan.

Kehidupan & Waktu
Kehidupan dan waktu berjalan berdampingan dan orang bijak tahu cara memanfaatkannya. Kehidupan adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan dan waktu merupakan bagian penting dari perjalanan hidup kita. Kolose 4:5 mengatakan hiduplah dengan penuh hikmat dan pergunakanlah waktu yang ada dalam Alkitab. Kita diajarkan untuk menghargai kedua hal ini dan memanfaatkannya dengan bijak. Setiap detik menit dan jam yang kita miliki adalah kesempatan untuk berbuat baik, belajar dan bertumbuh dalam iman. Dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Like Father, Like Son
Ungkapan like father, like son menyiratkan sebuah kearifan yang dalam mengenai hubungan antara generasi dan bagaimana karakter serta sifat-sifat tertentu dapat diwariskan dari orang tua kepada anak-anak mereka. Dalam konteks iman Kristen, kita memahami bahwa kita tidak hanya diciptakan serupa dan segambar dengan Allah tetapi kita juga dipanggil untuk meniru sifat-sifatnya yang mulia dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Dalam setiap langkah hidup, kita diajak untuk mencerminkan karakter yang menunjukkan kasih dan kebaikan yang sejati mengingat bahwa hubungan kita dengan Allah Bapa adalah pondasi dari segala tindakan dan keputusan yang kita ambil. Sebagai anak-anak Allah yang memiliki potensi istimewa di hadapannya kita tidak boleh menganggap remeh tanggung jawab besar yang melekat pada identitas ini.

Hari Kerja
Sebagai orang percaya kita sering kali menemukan bahwa sikap kita bisa berbeda antara hari kerja dan hari Minggu. Di hari Minggu kita berkumpul untuk beribadah mendengarkan Firman Tuhan dan merasakan kebersamaan dalam komunitas iman. Suasana yang penuh rasa syukur dan pengharapan mengingatkan kita akan kasih Tuhan yang tak terhingga. Dalam momen-momen ini kita terinspirasi untuk melayani dan menyebarkan kasih kepada sesama serta meneguhkan iman satu sama lain. Namun saat kita memasuki hari kerja, tantangan bisa muncul. Sikap kerja kita seringkali dipengaruhi oleh tekanan, beban tanggung jawab atau bahkan konflik interpersonal. Penting bagi kita untuk mengingat bahwa sikap yang sama yang kita tunjukan di hari Minggu harusnya tetap ada di hari kerja seperti yang diajarkan dalam Kolose 3.

Kehendak-Mu, Bukan Kehendakku
Di dalam doa Yesus, bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang terjadi mengajak kita untuk merenungkan tentang kerendahan hati dan penyerahan diri kepada Tuhan. Dalam momen yang penuh tekanan dan kesakitan, Yesus dengan tegas menunjukkan teladan cinta dan ketaatan kepada Bapa-Nya. Frasa bukan kehendak-Ku mencerminkan penempatan diri kita di bawah otoritas Tuhan, mengakui bahwa ada rencana yang lebih besar dari keinginan kita sendiri. Ini adalah ajakan untuk melepaskan ego dan ambisi pribadi demi mengakomodasi kehendak Tuhan yang sempurna. Sementara itu, melainkan kehendak-Mu yang terjadi mengingatkan kita akan pentingnya menerima dan mempercayakan hidup kita kepada Tuhan.