
Celetuk Bahasa Tempo
By Podcast Tempo
Selamat bergabung di Celetuk Bahasa Tempo bersama Uu Suhardi, siniar mingguan yang membahas apa pun seputar bahasa Indonesia. Siniar atau podcast ini akan membawa kamu untuk merenungi kembali, “Apakah kita benar-benar sudah memahami bahasa Indonesia?”
email: podcast@tempo.co.id
email: podcast@tempo.co.id

Mencermati Kelas Kata
Mencermati kelas kata—khususnya kata benda, kata kerja, dan kata sifat—bisa membantu kita menyusun kalimat yang logis. “Gubernur sedang emosi” dan “Korban masih trauma” adalah contoh kalimat yang keliru mengidentifikasi kelas kata.
- - -
**Kunjungi s.id/tempo99 untuk berlangganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu setahun!
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
10:08
January 27, 2023

Suara dan Bunyi
Suara dan bunyi adalah dua kata yang bersinonim. Namun, dalam konteks tertentu, keduanya tak bisa dipertukarkan. “Suara penyanyi” tak bisa diganti menjadi “bunyi penyanyi”. Sedangkan “bunyi-bunyian” tak dapat diganti dengan “suara-suaraan”.
---
**Kunjungi s.id/tempo99 untuk langganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu setahun!
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
05:34
January 20, 2023

Bintang Film, Artis, Selebritas
Ada masanya istilah “bintang film” lazim digunakan--bintang film Hong Kong, bintang film India, bintang film Barat, dan sebagainya. Kini “bintang film” jarang digunakan. Istilah yang sering dipakai adalah “artis” dan “selebritas”, juga “idol”. Orang yang tidak bermain film atau sinetron pun bisa disebut “artis” atau “selebritas”.
---
**Kunjungi s.id/tempo99 untuk langganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu selama 12 bulan!
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Zen Hae berjudul “Artis dari Hong Kong” di majalah Tempo edisi 13 Februari 2017.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:34
January 13, 2023

Obral Singkatan
Orang Indonesia, terutama pemerintah, sangat gemar memproduksi singkatan. Dari nama kegiatan, nama organisasi, hingga nama kementerian punya singkatan. Saking banyaknya, tak jarang kita temukan singkatan kembar—satu singkatan memiliki banyak kepanjangan. Misalnya KKN (kuliah kerja nyata; korupsi, kolusi, dan nepotisme), TPS (tempat pemungutan suara; tempat pembuangan sampah), dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa; pajak bumi dan bangunan; Partai Bulan Bintang).
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
07:02
January 06, 2023

Media Sosial Racun Bahasa Indonesia?
Coba tengok penggunaan bahasa Indonesia di media sosial. Kita bisa dengan mudah menemukan kata nonbaku, termasuk banjirnya istilah gaul, serta susunan kalimat yang serampangan. Apakah hadir dan berkembangnya media sosial menjadi racun bagi bahasa Indonesia?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:50
December 30, 2022

Memaafkan dan Melupakan
“Masyarakat Indonesia mungkin akan memaafkan kesalahan Pak Harto, tapi tidak melupakannya.”
Memaafkan tak selamanya berarti melupakan. Namun melupakan sebenarnya secara diam-diam memaafkan. Memaafkan dan melupakan bertemu sebagai tindakan yang sama-sama mengajari kita menjadi penipu—membohongi diri sendiri, mengingkari sejarah, dan yang paling parah: tak bermoral.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Putu Wijaya berjudul “Misteri Maaf dan Lupa” di majalah Tempo edisi 24 Februari 2008.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:45
December 23, 2022

Menuntut “dari” atau “kepada”?
Kata depan “dari” dan “kepada” memiliki fungsi yang berbeda. Namun kita bisa menjumpai kalimat semacam ini: “Mereka menuntut pertanggungjawaban dari kementerian” dan “Mereka menuntut pertanggungjawaban kepada kementerian”. Lantas kalimat mana yang tepat?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:16
December 16, 2022

Pelafalan Kata Harus Sesuai dengan KBBI?
Apotik (apotek), trek (truk), dan bis (bus) adalah contoh pelafalan kata yang lazim kita dengar, bahkan kita gunakan, dalam percakapan sehari-hari. Banyak orang yang mungkin sudah tahu bahwa pelafalan kata itu tidak sesuai dengan penulisannya di KBBI, tapi masih sering melakukannya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:10
December 09, 2022

Nama yang Islami
Seperti apakah nama islami dan bagaimana nama Indonesia? Penduduk Indonesia amat kreatif dalam memberikan nama untuk anak-anaknya. Tak ada rumusan baku yang berlaku. Di sini, nama “Umar” yang dianggap islami justru dipakai penganut Kristen di Timur Tengah. Lalu, banyak orang bernama “Wisnu” yang beragama Islam. Ada pula yang memakai gelar bangsawan Turki, “Efendi”, sebagai nama. Dan ada nama yang jadi nama belakang di negara lain malah jadi nama depan di Indonesia.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Qaris Tajudin berjudul “Arti Sebuah Nama” di majalah Tempo edisi 9 April 2017.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
**Saran dan kritik: podcast@tempo.co.id atau IG podcast.tempo
07:26
December 02, 2022

Kata Keliru yang Lazim
Sampai saat ini, masih banyak yang keliru menggunakan kata seperti “acuh”, “absen”, “nuansa”, dan “bergeming”. Kekeliruan itu terus berulang menjadi kelaziman hingga dianggap benar. Apa yang bisa kita lakukan agar salah kaprah tersebut tidak berlanjut?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:43
November 25, 2022

Pedagang Kaki Lima
Mengapa pedagang yang menggunakan gerobak dan berjualan di pinggir jalan disebut “pedagang kaki lima”?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:18
November 18, 2022

Mati Syahid
Pahlawan itu syahadah atau martir?
Kata “syahid” berasal dari bahasa Arab dan “martir” berasal dari bahasa Inggris. Keduanya sering dianggap bermakna sama. Padahal kedua kata itu memiliki makna yang tidak hanya berbeda, tapi juga bertentangan.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Husein Ja’far Al-Hadar berjudul “Pahlawan: Syahadah atau Martir?” di majalah Tempo edisi 2 Desember 2013.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
**Saran dan kritik: podcast@tempo.co.id atau IG podcast.tempo
07:12
November 11, 2022

Restoran Drive-thru
Istilah drive-thru atau istilah asing lain belum tentu dipahami semua orang. Tapi terkadang padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia juga kurang akrab di telinga kita. Alhasil, istilah atau kata asing tetap populer digunakan.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
08:20
November 04, 2022

Surat Lamaran Kerja
Secara garis besar, ada tiga jenis surat, yaitu surat pribadi, surat niaga, dan surat resmi. Surat lamaran kerja adalah contoh surat resmi. Bahasa yang digunakan harus bahasa yang resmi atau formal.
Artinya, tata bahasa dan kosakatanya mesti baku. Format penulisannya pun harus baku. Bahasa dan format yang baku ini membuat surat lamaran kerja mudah dipahami dan tidak menimbulkan interpretasi ganda.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
07:53
October 28, 2022

Bahasa Pemersatu
Sumpah Pemuda 1928 menjadi perhelatan yang membuahkan rumusan awal bahasa pemersatu, yang berbasiskan bahasa Melayu. Tanpa bahasa pemersatu ini, tidak bisa dibayangkan bagaimana cita-cita pembentukan sebuah bangsa akan diwujudkan dalam masyarakat Nusantara yang heterogen, yang terdiri atas ribuan bahasa etnis. Lantas, mengapa dipilih bahasa Melayu?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Agung Yuswanto berjudul “Lingua Franca” di majalah Tempo edisi 16 Mei 2010.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:23
October 21, 2022

Bahasa Pejabat
Pejabat kita masih gemar menggunakan eufemisme atau penghalusan kata dalam mengumumkan kebijakan. Pemerintah, misalnya, memilih menyebut “penyesuaian harga BBM” alih-alih “kenaikan harga BBM”, “keluarga prasejahtera” alih-alih “keluarga miskin”, “relokasi PKL” alih-alih “penggusuran PKL”, dan “ganti untung” alih-alih “ganti rugi”. Eufemisme semacam ini bisa membingungkan dan mengaburkan makna sebenarnya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:26
October 14, 2022

Media Clickbait
Clickbait atau umpan klik di media online (daring) menjadi salah satu strategi jurnalis agar pembaca tertarik mengunjungi situs atau portal beritanya dan membaca artikelnya. Namun sering kita menemukan berita dengan judul clickbait yang menyimpang dari kaidah atau menyelipkan kata yang bersifat subyektif: miris, cantik, bikin geleng-geleng, dan sebagainya. Bahkan tak jarang judul berita itu tak sesuai dengan isinya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
06:45
October 07, 2022

Dalang/Arsitek/Auktor Intelektualis G-30-S
Lewat politik bahasa, Orde Baru—dalam kasus G-30-S—telah mengondisikan kata “dalang”, “arsitek”, dan “otak”, yang sebelumnya bermakna netral, menjadi kata-kata yang dimaknai secara negatif, kejam, brutal, bengis, dan tak berperikemanusiaan.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Triyanto Triwikromo berjudul “Dalang, Arsitek, Auktor” di majalah Tempo edisi 7 Oktober 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:45
September 30, 2022

Hari Pertama dalam Seminggu
Apa hari pertama dalam seminggu? Senin atau Minggu? Lalu, tahukah Anda bahwa pukul dua dini hari masih termasuk malam?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
05:48
September 23, 2022

Budak, Butuh, Seronok
Kata yang bermakna positif di Malaysia belum tentu bermakna positif di Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Cermati saja kata “budak”, “butuh”, “perangsang”, dan “seronok” ini.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Ekky Imanjaya berjudul “Manipulasi Makna” di majalah Tempo edisi 7 Februari 2010.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
06:04
September 16, 2022

Profesi Bergender
Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal kata dengan kategori jenis kelamin atau gender. Namun, dalam penyebutan profesi, penekanan gender sering kita temukan: aktor-aktris, karyawan-karyawati, pramugara-pramugari, mahasiswa-mahasiswi, dan sebagainya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
08:25
September 09, 2022

Rumah Sehat
Dengan alasan mengubah pandangan umum masyarakat bahwa rumah sakit hanya diperuntukkan bagi orang sakit, penyebutan “rumah sakit umum daerah” di Jakarta diubah menjadi “rumah sehat untuk Jakarta”. Dari sudut pandang kebahasaan, apakah pengubahan ini diperlukan?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
08:24
September 02, 2022

Lalu Lintas Terpantau Ramai Lancar
Bahasa jalan raya bisa jadi bakal menjadi genre berbahasa tersendiri, layaknya bahasa gaul. Makin sering kita mendengar penggunaan “kendaraan terpantau ramai lancar”, “telah terjadi lakalantas”, “padat merayap”, “rekayasa lalu lintas”, “tilang”, “tipiring”, dan “safety riding”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Triyanto Triwikromo berjudul “ Bahasa Jalan Raya” di majalah Tempo edisi 17 Juli 2017.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
05:57
August 26, 2022

Wartawan Tak Perlu Sungkan
Dalam bahasa jurnalistik, kata sapaan “Pak”, “Bu”, “Tuan”, dan sejenisnya tidak diperlukan. Penambahan kata sapaan hanya akan menunjukkan karakter penulis yang dipengaruhi feodalisme atau sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan, pangkat, gelar, atau kedudukan.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:20
August 19, 2022

Dirgahayu Republik Indonesia
Mana yang tepat, “HUT RI ke-77” atau “HUT ke-77 RI”? Keduanya bisa sama-sama keliru. Lantas, bagaimana dengan Dirgahayu Republik Indonesia ke-77?
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
**Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
05:36
August 12, 2022

Keranjingan Jargon
Belakangan, ada kecenderungan memakai bahasa yang rumit dan abstrak ketimbang bahasa sehari-hari yang konkret dan bisa dipahami orang banyak. Alih-alih menyebutkan “sekolah ditutup”, kita cenderung mengatakan “kegiatan belajar-mengajar dihentikan”. Kita lebih suka menulis “infrastruktur transportasi terdegradasi” ketimbang “jalan dan jembatan rusak” atau menulis “stasiun pengisian bahan bakar untuk umum” ketimbang “pompa bensin”. Kita bahkan makin terbiasa mengatakan orang miskin “mengonsumsi” nasi aking, bukan “makan” nasi aking.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Farid Gaban berjudul “Keranjingan Jargon” di majalah Tempo edisi 8 Desember 2008.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:38
August 05, 2022

Dangdut dan Amerika
Tempo kadang “melahirkan” kata baru. “Dangdut” adalah contoh kata yang terlahir dari meja redaksi Tempo pada 1970-an. Kata ini menjadi genre musik yang populer di Indonesia hingga kini. Tempo juga melahirkan “Abang Sam” untuk menyebut Amerika Serikat dan menghindari julukan “Paman Sam”.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:45
July 29, 2022

Pasangan Idiomatis nan Abadi
Pasangan idiomatis adalah pasangan khas yang terdiri atas kata kerja (verba) dan kata depan (preposisi). Pasangan ini bisa dikatakan bersifat abadi karena tidak bisa diganti-ganti atau dipertukarkan. Ada “sesuai dengan”, “terdiri atas”, “disebabkan oleh”, “bergantung pada”, dan masih banyak lagi.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:58
July 22, 2022

Lokalisasi Bahasa Indonesia
Bahasa ibu yang hidup subur pada generasi sekarang adalah bahasa daerah yang berintegrasi dengan bahasa Indonesia atau sebut saja “bahasa Indonesia lokal”. Fakta itu terlihat pada contoh ini: “Nyok, bareng-bareng kite jage dan kite bangun Jakarta” (Betawi), “Bayar dua ribu, ngomong sak karepmu” (Jawa), dan “Hari ini trada nasi” (Papua).
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Maryanto berjudul “Bahasa Ibu” yang terbit di majalah Tempo edisi 9 Maret 2009.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:35
July 15, 2022

Bahasa Tempo
Bahasa Tempo kadang menggunakan kosakata yang tidak sesuai dengan KBBI. Tempo konsisten memakai “subyek” dan “obyek”, misalnya, bukan “subjek” dan “objek”. Tapi semua ada pertimbangannya.
Walau begitu, KBBI tetap menjadi pegangan utama. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia pun menjadi rujukan.
Tempo juga berupaya melestarikan dan memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Maka muncullah kata seperti dangdut, konon, cuek, kinclong, ambyar, dan rasuah.
- - -
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
11:05
July 08, 2022

Bahasa Gaul Masuk KBBI
Bahasa gaul alias slang selalu ada dari masa ke masa, misalnya bahasa prokem pada 1970-an dan awal 1980-an, yang melahirkan kata cuek, bokap, nyokap, doi, dan lain-lain. Kalau sekarang, contohnya baper, kepo, mager, dan pansos. Beberapa kata dari bahasa gaul juga telah dimasukkan ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi apakah perlu?
- - -
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
09:34
July 01, 2022

Diperkosa Setan
Judul-judul film bisa menyimpan jebakan sensasi bahasa. Pada pertengahan 1990-an, film Indonesia pernah punya judul seperti Gairah Malam, Limbah Asmara, dan Ranjang yang Ternoda. Lalu, tahun 2000-an, sebagian judul film kontemporer mengorbankan unsur artistik, sehingga kita menemukan judul semacam Tali Pocong Perawan, Suster Keramas, Hantu Binal Jembatan Semanggi, dan Diperkosa Setan.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Eric Sasono berjudul “Diperkosa Setan” di majalah Tempo edisi 29 Maret 2010.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
04:60
June 24, 2022

Oknum
Kata “oknum” acap ditemukan dalam berita “negatif” yang menyangkut pejabat atau aparat negara. Sangat sulit menemukan penggunaan “oknum” untuk kalangan warga sipil atau warga biasa, misalnya petani, buruh, dan mahasiswa.
- - -
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:36
June 17, 2022

Jebakan “Meng-i” dan “Meng-kan”
Dalam penggunaannya pada kalimat, konfiks “meng-kan” dan “meng-i” kadang dipertukarkan. Padahal, keduanya menghasilkan makna yang sangat berbeda, bahkan bisa bertolak belakang. Coba saja cermati perbedaan: membawahi dan membawahkan, memenangkan dan memenangi, meneladani dan meneladankan, dan sejenisnya.
--- --- ---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
11:18
June 10, 2022

Imbuhan “Ke-an” Sila-sila Pancasila
Kata berimbuhan “ke-an” pada sila-sila dalam Pancasila mengandung makna yang membingungkan. Misalnya kata “ketuhanan” dan “kerakyatan”. Mengapa harus “ketuhanan”? Mengapa bukan “Tuhan” saja? Mengapa “kerakyatan”, bukan “rakyat”?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Berthold Damshauser berjudul “Bahasa Pancasila” di majalah Tempo edisi 8 Agustus 2011.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:18
June 03, 2022

Hiperbola dalam Sepak Bola
Berbeda dengan gaya penulisan berita pada umumnya, berita olahraga–khususnya sepak bola–sering menggunakan gaya bahasa hiperbola. Misalnya “gol cantik”, “algojo penalti”, “bunuh diri”, “sundulan maut”, “tendangan geledek”, “menjebol gawang”, “melibas lawan”, dan “memberikan mimpi buruk”.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:37
May 27, 2022

Bahasa Umpatan
Di Indonesia, bahasa umpatan atau makian lebih sering menggunakan nama-nama hewan. Itu berbeda dengan negara luar. Orang yang berbahasa Inggris, misalnya, ketika mengumpat jarang memakai nama hewan. Kalaupun ya, sifatnya lebih untuk melecehkan gender.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:22
May 20, 2022

Bahasa Aparat: Siap 86!
Kata-kata “siap”, “ndan”, “siap 86!”, “meluncur ke TKP”, dan “mohon izin” merupakan contoh bahasa aparat keamanan yang kini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bila dirunut lebih dalam, sebelum era reformasi, istilah khas yang digunakan polisi dan tentara tersebut belum banyak dipakai warga sipil.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Rohman Budijanto berjudul “Bahasa Aparat Keamanan”, yang terbit di majalah Tempo edisi 18 Juli 2016.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
05:11
May 13, 2022

Diamankan Polisi
Penggunaan kata "diamankan" jika dimaksudkan sebagai penangkapan atau penahanan sebaiknya dihindari dalam tulisan jurnalistik. Penghalusan makna kata (eufemisme) semacam ini bisa mengaburkan makna sebenarnya.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:12
May 06, 2022

Kontraksi Kata
Kata juga bisa mengalami kontraksi. Dalam hal ini, kontraksi adalah proses atau hasil pemendekan suatu bentuk kebahasaan. Bahasa Indonesia sering terkontraksi mungkin karena terdiri atas banyak suku kata (multisilabis). “Satu”, “dua”, “tiga”, “tidak”, misalnya, sering terkontraksi menjadi satu suku kata (monosilabis): “tu”, “wa”, “ga”, “tak”.
Perkara kontraksi, Indonesia pernah melayangkan protes kepada Malaysia karena mereka mengontraksikan “Indonesia” sebagai “Indon”. “Indon” merupakan sebutan yang menyiratkan pelecehan rasial terhadap orang Indonesia yang tinggal di Malaysia.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Bambang Sugeng berjudul “Kata yang Terkontraksi”, yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Oktober 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
05:55
April 29, 2022

Kata Bermakna Ganda
Seperti bahasa pada umumnya, bahasa Indonesia memiliki kata-kata bermakna ganda. Ada homonim, homofon, dan homograf, misalnya. Namun, dalam penggunaannya, kata bermakna ganda sangat jarang menimbulkan kesalahpahaman. Tak akan timbul kebingungan pada pengguna bahasa karena selalu ada konteks untuk kata.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:37
April 22, 2022

Melafalkan Singkatan Asing dan Akronim
Dalam dunia pengisian suara atau voice over, sangat penting mengetahui cara melafalkan setiap kata dengan tepat. Sering kita mendengar ketidakkonsistenan pengisi suara saat melafalkan singkatan asing: CPO, DMO, WHO, IPO, dan lainnya. Cara pelafalan suatu kata seharusnya tidak bergantung pada kelaziman belaka.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:37
April 15, 2022

Naik Haji
Istilah “naik haji” adalah istilah asli Nusantara, murni dari Indonesia, dan hanya dipakai oleh orang Indonesia. Istilah ini lahir dari khazanah kebudayaan Islam di Nusantara.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Ahmadul Faqih Mahfudz berjudul “Hamzah Naik Haji”, yang terbit di majalah Tempo edisi 12 Agustus 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:17
April 08, 2022

Kalimat Sempurna
Mencari sesuatu yang sempuna di dunia ini memang sulit. Namun membuat kalimat sempurna tidaklah sulit. Kita tidak harus selalu mengikuti struktur S-P-O-K agar kalimat menjadi sempurna.
---
**Baca kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia di rubrik Bahasa majalah Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
08:11
April 01, 2022

Cara Menuliskan Satuan
Bagaimana cara menuliskan simbol satuan kilometer yang benar: “KM”, “Km”, atau “km”? Apa bedanya dengan penulisan simbol satuan seperti volt, ampere, dan watt? Sebenarnya, cara menuliskan satuan mengacu pada Systeme Internationale D’unites atau Sistem Satuan Internasional.
---
**Baca kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia di rubrik Bahasa majalah Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
06:56
March 25, 2022

Tata Bahasa itu Membosankan, tapi Penting
Tata bahasa dalam menulis amatlah penting walau sebagian orang menganggapnya tidak menarik dan membosankan. Kita membutuhkan aturan dalam merangkai tulisan karena menulis bukanlah bercakap. Tata bahasa merupakan aturan tentang struktur gramatikal bahasa.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Dian Purba berjudul “Simalakama Tata Bahasa”, yang terbit di majalah Tempoedisi 16 September 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:40
March 18, 2022

Menggunakan Kata "Terkait" dengan Tepat
Media massa kita makin produktif menggunakan kata "terkait". Dan banyak pemakaian kata itu yang tidak tepat. Kekeliruan itu sering terjadi karena pewarta bingung menentukan kata depan atau kata sambung yang tepat.
---
**Baca juga kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia di rubrik Bahasa majalah Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
05:53
March 11, 2022

Bahasa Menentukan Harga Menu?
Pernahkah kamu memperhatikan?
Banyak menu di restoran sekitar kita memakai bahasa asing padahal kita sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Ada anggapan, penggunaan menu berbahasa asing memberi kesan lebih komersial dibanding bahasa Indonesia.
Kalau kamu, lebih suka memesan nasi goreng atau fried rice, bakmi atau noodle, bakso atau meatball, es teh atau ice tea?
---
** Episode ini terinspirasi dari tulisan Marco Kusumawijaya berjudul “Sari Jeruk dan Roti Lapis di kampung Banda Aceh”, yang terbit di majalah Tempo edisi 24 September 2006.
**Baca juga kolom dari para penulis lain di rubrik Bahasa majalah Tempo.
07:33
February 28, 2022

Bahasa Menunjukkan Mentalitas Bangsa
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Selatan dan Tenggara yang berhasil mengembangkan bahasa nasionalnya. Walau dijajah ratusan tahun, Indonesia berani lepas dari dominasi bahasa sang penjajah. Namun, di balik itu, ada gejala-gejala pemakaian bahasa yang nyeleneh dan dapat menunjukkan mentalitas bangsa. Misalnya “sumbangan wajib”, “kurang tahu”, “mengejar ketertinggalan”, dan “kopi banget”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Soenjono Dardjowidjojo berjudul “Bahasa sebagai Tolok Ukur Mentalitas Bangsa”, yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Juli 2009.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:17
December 27, 2021

Bahasa sebagai Cermin?
Mungkinkah bahasa Indonesia menjadi cermin perkembangan atau perubahan budaya Indonesia? Apakah menyerap bahasa negara lain bisa menyebabkan kehilangan jati diri bangsa?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Berthold Damshauser berjudul “Bahasa Indonesia sebagai Cermin?”, yang terbit di majalah Tempo edisi 20 Februari 2012.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:39
December 20, 2021

Rumah, dan Kita versus Kami
“Rumah” dalam bahasa Inggris dibedakan dengan dua kata: “house” dan “home”. Sedangkan “we” dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi “kita” dan “kami”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Agus R. Sarjono berjudul “Rumah” yang terbit di majalah Tempo edisi 10 Januari 2010.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:59
December 13, 2021

Terjemahan Bisa Menyesatkan
Banyak istilah asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lahir bukan dari penerjemah atau ahli bahasa, melainkan dari tokoh profesional di bidangnya.
Istilah asing “supply” biasa diserap menjadi “suplai” saja. Tapi para profesional berpengalaman mencari padanan kata Indonesia dengan istilah berbeda untuk bidang masing-masing, sehingga makna konsepnya menjadi jelas.
Di bidang fisika, power supply menjadi “catu daya”, sedangkan di bidang ilmu ekonomi kata supply dan demand menjadi hukum “penawaran dan permintaan”. Di bidang bisnis, supply menjadi “pasokan” dan di manajemen menjadi “bekalan”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Setyadi Setyapranata berjudul “Embrio = Fetus?”, yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Juni 2010.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:13
December 06, 2021

Mengatasnamakan Atas Nama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “atas nama” berarti “dengan nama”. Bila dihubungkan dengan teks Proklamasi, apakah tepat makna itu?
Kalau kita ganti ”atas nama” sesuai dengan makna di kamus itu, bagian akhir teks Proklamasi akan kita baca menjadi ”Dengan nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”. Terasa aneh, bukan?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Edy Sembodo berjudul “Mengatasnamakan ’Atas Nama’”, yang terbit di majalah Tempo edisi 5 September 2016.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:43
November 29, 2021

Lugas, Baku, dan Indah
Tulisan yang lugas mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, serta ketulusan dalam berbagi informasi dan pengetahuan kepada siapa saja. Berbahasa baku berarti melembagakan kesepakatan bersama: bahasa nasional. Dan tulisan indah menggambarkan minat berkesenian melalui teks.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Agung Y. Achmad berjudul “Lugas, Baku, dan Indah”, yang terbit di majalah Tempo edisi 15 Mei 2011.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:22
November 22, 2021

Tik-tok, Tik-tik-tik…
Banyak tiruan bunyi yang lazim kita kenal untuk menggambarkan sesuatu atau aktivitas. Misalnya “kriiing”, “kriuuuk”, “tik-tok”, “sreeet”, “dor... dor... dor”, “cit… cit”, “tik-tik-tik”, dan “ngak-ngik-ngok”.
---
**Kredit cuplikan lagu: Tik Tik Tik Bunyi Hujan (Yesica); Titik Hujan (Titiek Puspa); Masih Cinta (Kotak)
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Lie Charlie berjudul “Tiruan Bunyi”, yang terbit di majalah Tempo edisi 12 Desember 2010.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:18
November 15, 2021

Jual-Beli Jabatan
Dalam perkembangannya, kegiatan jual-beli melebar ke makna konotatif. Tidak selalu ada serah-terima uang dan barang serta tidak mesti ada penjual dan pembeli. Sebut saja jual-beli pukulan, jual-beli serangan, jual-beli jabatan, dan jual-beli suara.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Imron Samsuharto berjudul “Jual-Beli Jabatan”, yang terbit di majalah Tempo edisi 1 Juli 2019.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:21
November 08, 2021

Tantangan Alih Bahasa
Istilah “alih bahasa” terasa sempit karena mengandaikan bahasa yang beralih belaka. Padahal ide, imajinasi, dan suasana harus turut “diterjemahkan”. ”Kampanye hitam” (kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik) bukan terjemahan dari black campaign, seperti halnya ”kambing hitam” (pihak yang dijadikan tumpuan kesalahan) bukan terjemahan dari black goat. ”Kampanye hitam” dekat maknanya dengan black propaganda, sedangkan ”kambing hitam” serupa maknanya dengan scapegoat.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Hermien Y. Kleden berjudul “Dalam Belantara Dwibahasa”, yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Oktober 2015.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:01
November 01, 2021

Kegenitan "Licentia Poetica"
Licentia poetica adalah semacam lisensi atau izin tak tertulis yang dikantongi penyair untuk menyimpang dari kaidah bahasa demi mencapai efek tertentu yang dia inginkan. Tapi bisakah seseorang melanggar aturan bahasa demi licentia poetica, padahal ia tidak tahu perbedaan menuliskan ”keluar” (sebagai lawan kata “masuk”) dan ”ke luar” (sebagai lawan kata “ke dalam”)?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Eko Endarmoko berjudul “Genit”, yang terbit di majalah Tempo edisi 4 Mei 2009.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:28
October 25, 2021

Kata-kata yang Memuai
Dalam bahasa Indonesia, bahasa percakapan dan bahasa tulis bisa begitu berbeda. Suatu kata bisa memuai. Kalimat dalam bahasa Indonesia sering mengandung konteks yang hanya diketahui orang Indonesia. Seorang teman dari Korea Selatan menggeleng-geleng ketika mendengar penjelasan tentang kalimat “Wah, mau hujan”. Dia pikir, kalimat itu berarti “Orang yang mengucapkannya ingin hujan”. Begitu pula terhadap kalimat “Dia mah orangnya suka drama”. Dia menyangka kalimat itu berarti “Dia menyukai pertunjukan teater atau film”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Bagja Hidayat berjudul “Kata-kata yang Memuai”, yang terbit di majalah Tempo edisi 12 Juni 2017.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:50
October 18, 2021

Sari Jeruk atau Orange Juice?
Belakangan ini, saya makin rajin memesan sari jeruk alih-alih orange juice atau es teh alih-alih iced tea. Saat di Banda Aceh, pernah suatu hari ketika saya makan di kedai, pesanan saya tidak datang setelah hampir sejam! Maka saya harus ke dapur untuk mengambilnya sendiri. Pelayan rupanya tidak menyadari bahwa “sari wortel” dan “roti lapis isi ayam” sama dengan carrot juice dan sandwich with chicken.
---
** Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Marco Kusumawijaya berjudul “Sari Jeruk dan Roti Lapis di kampung Banda Aceh”, yang terbit di majalah Tempo edisi 24 September 2006.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:09
October 04, 2021

Salah Paham dan Kekerasan
Rasa takut dan pengalaman kekerasan mengubur semua potensi pemaknaan, melindas semua kebenaran historis dan faktual. Di mana ada kekerasan, di situ tak akan ditemukan bahasa!
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Robertus Robet berjudul “Salah Paham dan Kekerasan”, yang terbit di majalah Tempo edisi 24 April 2011.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:51
September 27, 2021

Berbahasa Ruwet atau Sederhana?
Apa beda antara orang yang berbahasa sederhana dan yang ruwet?
Orang berbahasa ruwet bisa disebabkan oleh dua kemungkinan: si pengucap bahasa ingin tampak pintar atau sejak di alam pikir dia memang tak sederhana.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Arif Zulkifli berjudul “Tentang Ayam dan Keayaman”, yang terbit di majalah Tempo edisi 1 Oktober 2006.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:32
September 20, 2021

Arak
Dilihat dari sejarahnya, minuman keras (arak) sudah lama lekat dengan masyarakat kita, bahkan sudah disebut sejak 1365. Dalam budaya tertentu, minuman keras merupakan bagian dari ritual, perayaan, dan perjamuan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat lebih dari 30 kata yang mengandung makna minuman keras: anggur merah, anis, aqua vitae, arak, beram, bir, bozah, brem, ciu, genegin, gin, kameko, khamar, kurasao, martini, moke, pahit, jenewer, papak, punch, rum, saguer, sajang, sajang tapai, sampanye, sopi manis, sopi, susu macan, syarab, tuak keras, tuak manis, tuak, vodka, dan wiski.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Asep Rahmat Hidayat berjudul “Arak”, yang terbit di majalah Tempo edisi 27 Agustus 2018.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:32
September 13, 2021

Sebut Saja Koruptor dengan Maling
Konotasi “koruptor” tidak sama dengan “maling”, apalagi “bajingan”. Ini artinya koruptor “tidak serendah” atau “tidak sehina” maling dan bajingan, meski nilai nominal dan ruang lingkup dampaknya berkali lipat lebih besar. Jika bermaksud mempertegas konotasi negatifnya, mengapa tidak mendorong penggantian istilah “koruptor” dengan “maling”?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Seno Gumira Ajidarma berjudul “Korupsi Tanpa Koruptor”, yang terbit di majalah Tempo edisi 15 Mei 2017.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:59
September 06, 2021

Merek yang Jadi Nama Generik
Generasi milenial, apalagi yang lebih muda, mungkin tidak tahu bahwa odol, kodak, dan riben adalah nama-nama merek yang sangat populer di masa lalu. Merek-merek ini lazim digunakan dan tertulis sebagai nama generik dalam kamus bahasa Indonesia.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Hairus Salim H.S. berjudul “Sang Pemula”, yang terbit di majalah Tempo edisi 27 Januari 2013.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:25
August 30, 2021

Ke Penjara karena Bahasa
Bagaimana jadinya nasib bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita bila orang-orang tanpa pikir panjang menghubungkannya ke Undang-Undang Pornografi? Masyarakat bisa ramai-ramai dipenjarakan karena mengucapkan kata-kata ini di ranah publik: butuh, pacul, bujang, pantat, tilo-tilo, dan momok, yang bisa berarti alat kelamin dalam bahasa daerah tertentu.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Afrizal Anoda berjudul “Ke Penjara karena Bahasa”, yang terbit di majalah Tempo edisi 11 Januari 2009.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:02
August 23, 2021

Merdeka
Apa itu “merdeka”? Sejak peristiwa bersejarah 17 Agustus 1945, para pemimpin dan jurnalis makin gandrung menggunakan istilah “merdeka”. Sebelum kata “merdeka” sepopuler sekarang, dulu juga dikenal istilah “merdika” dan “merdeheka”, yang artinya tidak berbeda dengan kata dalam bahasa Sanskerta, “mahardika”—sebagai asal kata “merdeka”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Bandung Mawardi berjudul “Merdika, Merdeheka, Merdeka”, yang terbit di majalah Tempo edisi 10 Agustus 2015.
**Baca juga berbagai kolom bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:56
August 16, 2021

Bangsa Penista Satwa
Bayi-bayi apa yang paling nista di Indonesia? Jawabannya bayi kodok alias cebong. Tapi di atas cebong masih ada satwa lain yang biasa dihinakan manusia saat meluapkan emosi jiwa, yaitu anjing dan babi. Sulit mengatakan mana yang lebih nista di antara keduanya.
---
-Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Dewi Safitri berjudul “Bangsa Penista Satwa”, yang terbit di majalah Tempo edisi 8 Oktober 2018.
-Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:40
August 09, 2021

Gendut, Hitam, Pesek, Pendek
Konon, orang Timur menjunjung kesopanan. Tapi sering kita mendengar ucapan bernada merendahkan ketika berbicara tentang tubuh seseorang. Pendek dan pesek dinilai tak sebaik tinggi dan mancung. Berkulit hitam kurang diapresiasi dibanding berkulit terang. Namun tak pernah ada alasan yang jelas di balik semua itu.
---
-Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan André Möller berjudul “Gendut, Hitam, Pesek, dan Pendek”, yang terbit di majalah Tempo edisi 4 Februari 2019.
-Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:44
August 02, 2021

Haji dan Hajah
Bagi masyarakat Indonesia, panggilan haji atau hajah (H. atau Hj.) menjadi gelar atau penanda telah selesainya rangkaian peribadatan haji. Lazimnya, panggilan itu menjadi gelar yang melekat di depan nama sepanjang hayat. Banyak yang menganggap menyandang gelar haji berarti memiliki status sosial baru.
Sedangkan bagi masyarakat Arab, istilah haji menjadi panggilan bagi umat Islam yang sedang berziarah ke Tanah Suci untuk beribadah haji. Panggilan ini bersifat sementara, hanya melekat selama umat Islam itu sedang berziarah atau akan menjalankan ibadah haji. Dan setelah pelaksanaan ibadah haji selesai, sebutan itu pun tidak terdengar lagi.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Asep Purnama Bahtiar berjudul “Haji dan Hajah sebagai Panggilan atau Penanda”, yang terbit di majalah Tempo edisi 3 Januari 2010.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:29
July 26, 2021

Kehujanan dan Kesaljuan
Saat terkena hujan, kita bisa menyebut “kehujanan”. Tapi kenapa, saat terkena salju, kita tidak lazim menyebut “kesaljuan”?
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Edwin P. Wieringa berjudul “Saya Kesaljuan”, yang terbit di majalah Tempo edisi 25 Desember 2017.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:15
July 19, 2021

Wabah Epidemi Pandemi
“Wabah”, “epidemi”, dan “pandemi” acap digunakan di berbagai liputan tentang Covid-19. Konsep ketiga kata tersebut memang memuat pengertian yang sama, tapi juga memiliki perbedaan, khususnya dalam hal luas wilayah yang terkena dampak dan jumlah korban.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Sudirman Nasir berjudul “Wabah, Epidemi, Pandemi”, yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Maret 2020.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
06:50
July 12, 2021

Lupa Daratan, ke Laut Aja!
Orang yang “lupa daratan” adalah orang yang berbesar hati karena mendapatkan apa yang diharapkan sehingga lupa akan petuah-petuah lain. Namun orang yang “lupa daratan” tidak serta-merta menjadi “ingat lautan”. Lautan tetaplah hilang dalam bawah-sadar mereka. Merosotnya budaya maritim kita membuat penghargaan terhadap laut ikut-ikutan merosot.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Zen Hae berjudul “Lupa Daratan, ke Laut Aja!”, yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Maret 2018.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:26
July 05, 2021

Suara Qaris: Serapan Bahasa Arab
Maraknya penggunaan bahasa Arab tidak dibarengi dengan pemahaman makna yang tepat. Ada kesan, bagi sebagian orang, penggunaan bahasa Arab, alih-alih bahasa Indonesia, akan meningkatkan keimanan mereka. Bahkan kata “Tuhan” dan “sembahyang” makin jarang digunakan. Setidaknya itulah yang diungkapkan wartawan senior Tempo, Qaris Tajudin. Sedangkan Uu Suhardi merasa prihatin terhadap penggunaan bahasa yang dicampuradukkan, misalnya happy milad.
Lalu, ketika bahasa Arab makin marak digunakan, apakah semuanya akan diserap begitu saja ke dalam bahasa Indonesia? Dengarkan obrolan selengkapnya dalam episode “Suara Qaris: Serapan Bahasa Arab”. Jangan lupa kirim tanggapan kamu via email ke podcast@tempo.co.id
---
*Baca berbagai celetuk bahasa dari para penulis dengan beragam latar belakangnya di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
01:05:44
June 28, 2021

Simpan Sampahmu!
Kata ”sampah” seharusnya netral. Sesuatu yang membuat kata “sampah” berkonotasi negatif adalah kata kerja “buang”. Akibat persandingannya dengan “buang”, sampah dianggap sebagai benda yang sudah tidak berharga atau tidak diperlukan lagi. Karena itu, frasa “buang sampah” yang berkonotasi negatif seharusnya diganti dengan frasa baru yang mengarahkan masyarakat ke paradigma positif. Frasa ”buang sampah” dapat diganti dengan ”simpan sampah” atau ”taruh sampah”. Dengan paradigma “menyimpan sampah”, perilaku masyarakat pun diarahkan dalam pemilahan sampah.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Tendy K. Somantri berjudul “Simpan Sampahmu!”, yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Mei 2018.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:49
June 21, 2021

Inlander
Pada masa penjajahan Belanda, istilah inlander merupakan sebutan yang digunakan orang Belanda untuk mengejek bangsa pribumi atau penduduk asli di Indonesia. Saat itu, bangsa Indonesia menganggap bangsa Belanda dan bangsa Eropa pada umumnya sebagai bangsa yang derajatnya lebih tinggi daripada bangsa Indonesia.
Dari situlah tampaknya muncul bibit-bibit inferioritas, sikap rendah diri, atau mentalitas inlander. Akibat dari mentalitas inlander adalah menganggap apa pun yang kita miliki dirasa kalah hebat, kalah nilai, dan kalah gengsi daripada milik bangsa lain. Dalam berbahasa, banyak di antara kita yang menganggap bahasa asing itu lebih bergengsi, lebih bernilai, dan lebih punya daya jual.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Mustakim berjudul “Inlander”, yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Januari 2019.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:18
June 14, 2021

Relawan
Dulu kata “relawan” digunakan buat merujuk pada figur atau kelompok yang bekerja untuk kepentingan orang lain secara ikhlas. Namun makna kata itu cenderung bergeser pada era politik elektoral seperti sekarang. Kata “relawan” lebih sering digunakan untuk menyebut kelompok sipil nonpartai yang berafiliasi mendukung kandidat tertentu.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Rahmat Petuguran berjudul “Relawan” yang terbit di majalah Tempo edisi 29 Oktober 2018.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:14
June 07, 2021

Polisi (kok) Tidur
Polisi tidur di mana-mana. Di jalan kampung, di jalan perumahan, di lingkungan universitas, di jalan umum, bahkan kadang di jalan raya. Ke mana pun pergi, kita pasti bertemu dengan polisi tidur. Tanpa disadari, polisi tidur telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Beberapa kawan menganggap polisi tidur melindungi mereka dari ancaman yang timbul akibat laju kendaraan yang kencang. Beberapa yang lain justru merasa terganggu bahkan jengkel saat melintasi polisi tidur. Lagipula, polisi kok tidur?
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan jamal d. Rahman berjudul “Polisi (kok) Tidur” yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Agustus 2012.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:44
May 31, 2021

Syur
Makna “syur” menurut KBBI sepertinya sangat sempit—berarti sangat menarik hati. Padahal "syur" pernah ramai muncul di media massa pada 1980-an dan 1990-an, seperti halnya "ler". Mereka hadir bersama majalah dan tabloid semiporno yang menawarkan foto gadis-gadis dalam pose ler yang membangkitkan syur. Saat ini pun kita lebih mudah menemukan kata “syur” ketika para pesohor terjerat kasus yang terkait dengan pornografi.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Ayu Utami berjudul “Suatu Rasa Bernama Syur”, yang terbit di majalah Tempo edisi 2 Februari 2014.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
08:05
May 24, 2021

Merek-merek Unik
Selain merek True Religion, yang kalau diindonesiakan menjadi “Agama Sejati”, banyak merek produk fashion unik dari negara Barat yang kalau diterjemahkan bisa aneh sekali. Ada produk laris berlabel Poison (parfum dari Christian Dior), Opium (parfum, Yves Saint Laurent), Agent Provocateur (parfum dari sebuah lingerie retailer), Envy Me dan Guilty (parfum dari Gucci), juga Urban Decay, produk kosmetik yang kalau diartikan menjadi kerusakan kota. Ada lagi Bathing Ape, produk fashion yang label lengkapnya “A Bathing Ape in Lukewarm Water”—disingkat BAPE. Orang Indonesia sepertinya tidak mempermasalahkan semua merek itu. Namun, andaikan semua itu produk Indonesia, apa kira-kira reaksi pasar?
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Rohman Budijanto berjudul “Agama Sejati dan Celana Jins” yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Februari 2012.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
07:58
May 17, 2021

Pembantu dan Penolong
“Membantu” dan “menolong” adalah contoh kata yang bersinonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat, kata “bantu” sama dengan “tolong”. Namun ada perbedaan yang mendasar jika kata “pembantu” dibandingkan dengan kata “penolong”. “Pembantu” tidak dapat menggantikan “penolong” pada frasa “regu penolong”, “dewa penolong”, atau “malaikat penolong”. Sedangkan “penolong” tidak dapat menggantikan “pembantu” pada frasa “pembantu umum”, “pembantu presiden”, atau “peran pembantu”.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Bambang Kaswanti Purwo berjudul “Pembantu: Dari Rumah Tangga sampai Presiden” yang terbit di majalah Tempo edisi 4 November 2007.
*Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain dalam rubrik Bahasa di majalah.tempo.co.
06:31
May 10, 2021

Satuan dan Ukuran
Satuan lazimnya lebih mudah ditentukan, misalnya sebutir, setangkai, seekor, sebatang, dan sekuntum. Adapun ukuran, dalam khazanah lama, selalu relatif.
Untuk ukuran berat, kita mengenal sepikul, segulung, sepeti, dan sekarung. Untuk ukuran panjang, ada sehasta dan sekilan. Ukuran-ukuran ini tak pernah sampai dibakukan seperti ukuran kaki dalam khazanah bahasa Inggris, yang setara dengan 30,48 sentimeter, misalnya. Ukuran waktu lebih parah. Ada istilah seumuran jagung dan sepenanakan nasi.
Dalam menentukan jarak, tak jarang kita malah memakai rentang waktu. Misalnya, ada yang menyebutkan perjalanan satu hari dua malam. Tentu kita dapat menaksir waktu tempuhnya lebih-kurang 36 jam. Tapi siapa yang bisa memastikan berapa kilometer yang bisa ditempuh dalam perjalanan selama itu?
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Yusi Avianto Pareanom berjudul “Satuan dan Ukuran” yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Juli 2013.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
08:43
May 03, 2021

Korupsi Berjemaah
Ada yang menarik dalam ungkapan “korupsi berjemaah”. Ungkapan ini terbentuk oleh dua kata yang sifatnya berbeda sama sekali. Kata pertama, “korupsi”, terkait dengan dunia kejahatan kaum kerah putih dan bermakna negatif. Sedangkan kata kedua, dari kata dasar “jemaah”, adalah sebutan untuk kumpulan atau rombongan orang beribadah.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Kasijanto Sastrodinomo berjudul “Jemaah, Bancakan, Rayahan“ yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Mei 2013.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
07:32
April 26, 2021

Jihad
Di suasana Ramadan kali ini, Celetuk Bahasa Tempo menghadirkan tulisan karya Qaris Tajudin yang berjudul "Memaknai Jihad". Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan kata “jihad” menjadi monopoli kelompok teroris. Mereka seolah-olah mengatakan bahwa hanya orang yang melakukan pengeboman dan kekerasanlah yang berhak menyandang predikat sebagai mujahid. Ini jelas penyempitan makna. Padahal, jika mengacu pada terjemahannya, “jihad” berarti perjuangan atau usaha yang keras. Kalau kita memakai terjemahannya, seluruh umat akan setuju bahwa jihad harus dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun. Bahkan mungkin orang yang berjuang memberantas kemiskinan jauh lebih berhak menyandang predikat mujahid dibanding pelaku pengeboman.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Qaris Tajudin berjudul “Menerjemahkan Jihad”, yang terbit di majalah Tempo edisi 27 September 2009.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
08:59
April 19, 2021

Imbuhan Penggeser Makna
Dalam KBBI, "guru" bermakna "orang yang pekerjaannya (mata pencariannya, profesinya) mengajar". Tapi, apabila diimbuhi "meng-i", kata guru menjadi "menggurui", yang maknanya terkesan tidak baik.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Ahmad Sahidah berjudul "Imbuhan yang Menggeser Makna". Tulisan ini terbit di majalah Tempo edisi 29 Desember 2013.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
07:37
April 12, 2021

Inggris
Jika mengacu pada KBBI, "Inggris" punya dua arti: nama bangsa yang mendiami Kepulauan Inggris dan nama bahasa bangsa Inggris. Lalu, dalam praktiknya, kata "Inggris" di Indonesia digunakan secara rancu. Orang Indonesia biasanya menyebut Inggris untuk merujuk ke tiga nama sekaligus, yakni England, Great Britain, dan United Kingdom. Padahal akan lebih baik jika kita menggunakan "Inggris" hanya untuk merujuk pada negara-bangsa England, lalu "Britania Raya" untuk merujuk Great Britain, dan "Perserikatan Kerajaan" atau "Uni Kerajaan" untuk merujuk The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Hardyanto berjudul "Inggris", yang terbit di majalah Tempo edisi 9 Januari 2017.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
07:02
April 05, 2021

Suara Uksu: Bahasa Tempo dan KBBI
Lewat segmen "Suara Uksu", Celetuk Bahasa Tempo episode kali ini spesial menghadirkan obrolan dengan Uksu alias Uu Suhardi. Hal yang dibahas pun beragam: dari karier Uu Suhardi selama menjadi redaktur bahasa di Tempo, ketidakkonsistenan KBBI, linguistik forensik, hingga cerita di balik ajeknya Tempo menggunakan kata-kata yang dianggap tidak baku oleh KBBI.
---
Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
30:31
March 29, 2021

Bahasa Polisi
Bahasa jurnalistik semestinya adalah bahasa yang jujur, tidak mengaburkan makna, dan mampu menerangkan fakta sesungguhnya kepada publik. Pers seharusnya tidak latah ikut-ikut polisi menggunakan kata seperti "diamankan", "berhasil menembak", "aksi penodongan”, "dimassa", dan "oknum" karena kata-kata itu sama sekali tak jelas artinya dan menabrak logika bahasa.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan L.R. Baskoro berjudul “Bahasa Polisi” yang terbit di majalah Tempo edisi 9 Februari 2014.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
07:40
March 22, 2021

Lirik Lagu yang Keliru
Lirik lagu lazimnya diizinkan mengabaikan kaidah bahasa baku, tapi sebaiknya tidak mengacaukan logika. Dalam episode ini, kita akan membedah kekacauan nalar yang ditimbulkan lirik-lirik lagu populer: “Para Pencari-Mu” (Ungu), “Cinta Ini Membunuhku” (D’Masiv), “Patah Hati” (Radja), dan beberapa lainnya.
---
*Sajian episode “Lirik Lagu yang Keliru” ini sebagian besar dipetik dari tulisan Dewi Kartika Teguh W. berjudul “Para Pencari-Mu” di majalah Tempo edisi 7 September 2008.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
*Kredit cuplikan lagu:
“Para Pencari-Mu”, Ungu
“Cinta Ini Membunuhku”, D’Masiv
“Aku Mau”, Once
“Dilema”, Intan Nuraini
“Patah Hati”, Radja
09:16
March 15, 2021

Bahasa Kebun Binatang
Nama binatang sering menjadi pelengkap umpatan. Sebut saja, misalnya, "cebong", "kampret", "bangsat", dan "monyet". Jarang kita temukan ungkapan berkonotasi positif semacam "mata elang" atau "burung merak".
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Irfan Budiman berjudul “Kebun Binatang” di majalah Tempo edisi 3 Mei 2009.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
07:03
March 08, 2021

Tali-temali Gender
Bahasa Indonesia sebenarnya mengembangkan akhiran berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Kosakata untuk perempuan misalnya wartawati, karyawati, seniwati, dan direktris. Namun, perlahan-lahan, pembedaan itu lenyap. Juru warta berjenis kelamin apa pun bisa disebut wartawan. Perempuan yang memimpin perusahaan tak lazim lagi disebut direktris, cukup dengan direktur. Tapi kadang ada ketidakkonsistenan. Ada beberapa sebutan berbau kelamin yang masih bertahan, contohnya polwan atawa polisi wanita, meskipun kamu tidak akan menemukan sebutan polki alias polisi laki-laki.
Namun, menariknya, bahasa Indonesia konsisten mempertahankan pengelompokan gender serapan bahasa Arab. Kata hadirin dijejerkan dengan hadirat, almarhum dengan almarhumah, muslimin dengan muslimat, mukminin dengan mukminat, dan sebagainya.
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Samsudin Adlawi berjudul “Tali-temali Gender” di majalah Tempo edisi 1 April 2012.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
08:11
March 01, 2021

Pembaca Terakhir
Di media massa atau perusahaan penerbitan, lazimnya terdapat redaktur bahasa. Dialah pembaca terakhir yang ikut memastikan layak-tidaknya suatu artikel atau buku sebelum diterbitkan dan dibaca khalayak.
--Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
06:16
February 22, 2021

Logika!
Dalam berbahasa, kita pun membutuhkan logika. Dengan begitu, kita bisa memperbaiki kalimat semacam “Pelaku dikenakan pasal berlapis” menjadi “Pelaku dikenai pasal berlapis”, atau mengganti kalimat “Buruh yang terkena PHK diberikan pesangon” menjadi “Buruh yang terkena PHK diberi pesangon”.
--Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
07:12
February 15, 2021

Maaf dan Terima Kasih
Begitu banyak "maaf" yang ditemukan di jalanan terkesan sangat sopan. Misalnya, "Maaf perjalanan Anda terganggu", "Maaf sedang ada upacara adat", dan "Maaf ada salat Jumat". Namun, adakalanya menggunakan peringatan “Maaf dilarang kencing di sini” malah tidak efektif jika dibandingkan dengan “Maaf hanya anjing yang kencing di sini”.
Dan terkadang hanya dengan tidak membuang apa-apa, kita bisa mendapatkan "terima kasih", seperti yang tertera pada peringatan "Terima kasih Anda tidak membuang sampah di sini".
--Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
06:14
February 08, 2021

Obat-obatan
Obat tidak selamanya menyembuhkan. Obat nyamuk, jelas, membuat nyamuk sakit, bahkan mati. Kita tidak tahu nyamuk sedang menderita penyakit apa sehingga perlu obat. Sama halnya cacing, yang juga perlu diberantas. Apalagi ketika cacing itu berjenis pita dan hidup di dalam tubuh kita. Dan mengenai "obat kuat" untuk lelaki, itu persoalan lain lagi.
--Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
05:54
February 01, 2021

Di Manakah Di?
Ketika ejaan diperbarui pada 1970-an, umumnya orang memang ingat ada perubahan menulis secara tertentu. Misalnya pada kata "cowok", yang dulunya ditulis dengan huruf tj, diganti dengan huruf c. Tapi umumnya orang juga lupa, sejak saat itu, ada ketentuan agar menulis "di" secara berbeda, yakni secara terpisah dan merapat. "Dilanggar" akan berbeda maknanya jika ditulis "di langgar".
---
*Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Gunawan Muhamad berjudul "Di Manakah Di?" yang terbit di majalah Tempo edisi 6 November 2005.
*Berbagai celetuk seputar bahasa Indonesia juga bisa kamu baca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
05:53
January 25, 2021