Celetuk Bahasa Tempo
By Podcast Tempo
- - - - -
Bagian dari Tempo Media Group
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Celetuk Bahasa TempoMay 31, 2021
Mencermati Kelas Kata
Mencermati kelas kata—khususnya kata benda, kata kerja, dan kata sifat—bisa membantu kita menyusun kalimat yang logis. “Gubernur sedang emosi” dan “Korban masih trauma” adalah contoh kalimat yang keliru mengidentifikasi kelas kata.
- - -
**Kunjungi s.id/tempo99 untuk berlangganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu setahun!
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
Suara dan Bunyi
Suara dan bunyi adalah dua kata yang bersinonim. Namun, dalam konteks tertentu, keduanya tak bisa dipertukarkan. “Suara penyanyi” tak bisa diganti menjadi “bunyi penyanyi”. Sedangkan “bunyi-bunyian” tak dapat diganti dengan “suara-suaraan”.
---
**Kunjungi s.id/tempo99 untuk langganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu setahun!
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bintang Film, Artis, Selebritas
Ada masanya istilah “bintang film” lazim digunakan--bintang film Hong Kong, bintang film India, bintang film Barat, dan sebagainya. Kini “bintang film” jarang digunakan. Istilah yang sering dipakai adalah “artis” dan “selebritas”, juga “idol”. Orang yang tidak bermain film atau sinetron pun bisa disebut “artis” atau “selebritas”.
---
**Kunjungi s.id/tempo99 untuk langganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu selama 12 bulan!
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Zen Hae berjudul “Artis dari Hong Kong” di majalah Tempo edisi 13 Februari 2017.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Obral Singkatan
Orang Indonesia, terutama pemerintah, sangat gemar memproduksi singkatan. Dari nama kegiatan, nama organisasi, hingga nama kementerian punya singkatan. Saking banyaknya, tak jarang kita temukan singkatan kembar—satu singkatan memiliki banyak kepanjangan. Misalnya KKN (kuliah kerja nyata; korupsi, kolusi, dan nepotisme), TPS (tempat pemungutan suara; tempat pembuangan sampah), dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa; pajak bumi dan bangunan; Partai Bulan Bintang).
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Media Sosial Racun Bahasa Indonesia?
Coba tengok penggunaan bahasa Indonesia di media sosial. Kita bisa dengan mudah menemukan kata nonbaku, termasuk banjirnya istilah gaul, serta susunan kalimat yang serampangan. Apakah hadir dan berkembangnya media sosial menjadi racun bagi bahasa Indonesia?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Memaafkan dan Melupakan
“Masyarakat Indonesia mungkin akan memaafkan kesalahan Pak Harto, tapi tidak melupakannya.”
Memaafkan tak selamanya berarti melupakan. Namun melupakan sebenarnya secara diam-diam memaafkan. Memaafkan dan melupakan bertemu sebagai tindakan yang sama-sama mengajari kita menjadi penipu—membohongi diri sendiri, mengingkari sejarah, dan yang paling parah: tak bermoral.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Putu Wijaya berjudul “Misteri Maaf dan Lupa” di majalah Tempo edisi 24 Februari 2008.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Menuntut “dari” atau “kepada”?
Kata depan “dari” dan “kepada” memiliki fungsi yang berbeda. Namun kita bisa menjumpai kalimat semacam ini: “Mereka menuntut pertanggungjawaban dari kementerian” dan “Mereka menuntut pertanggungjawaban kepada kementerian”. Lantas kalimat mana yang tepat?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Pelafalan Kata Harus Sesuai dengan KBBI?
Apotik (apotek), trek (truk), dan bis (bus) adalah contoh pelafalan kata yang lazim kita dengar, bahkan kita gunakan, dalam percakapan sehari-hari. Banyak orang yang mungkin sudah tahu bahwa pelafalan kata itu tidak sesuai dengan penulisannya di KBBI, tapi masih sering melakukannya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Nama yang Islami
Seperti apakah nama islami dan bagaimana nama Indonesia? Penduduk Indonesia amat kreatif dalam memberikan nama untuk anak-anaknya. Tak ada rumusan baku yang berlaku. Di sini, nama “Umar” yang dianggap islami justru dipakai penganut Kristen di Timur Tengah. Lalu, banyak orang bernama “Wisnu” yang beragama Islam. Ada pula yang memakai gelar bangsawan Turki, “Efendi”, sebagai nama. Dan ada nama yang jadi nama belakang di negara lain malah jadi nama depan di Indonesia.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Qaris Tajudin berjudul “Arti Sebuah Nama” di majalah Tempo edisi 9 April 2017.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
**Saran dan kritik: podcast@tempo.co.id atau IG podcast.tempo
Kata Keliru yang Lazim
Sampai saat ini, masih banyak yang keliru menggunakan kata seperti “acuh”, “absen”, “nuansa”, dan “bergeming”. Kekeliruan itu terus berulang menjadi kelaziman hingga dianggap benar. Apa yang bisa kita lakukan agar salah kaprah tersebut tidak berlanjut?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Pedagang Kaki Lima
Mengapa pedagang yang menggunakan gerobak dan berjualan di pinggir jalan disebut “pedagang kaki lima”?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Mati Syahid
Pahlawan itu syahadah atau martir?
Kata “syahid” berasal dari bahasa Arab dan “martir” berasal dari bahasa Inggris. Keduanya sering dianggap bermakna sama. Padahal kedua kata itu memiliki makna yang tidak hanya berbeda, tapi juga bertentangan.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Husein Ja’far Al-Hadar berjudul “Pahlawan: Syahadah atau Martir?” di majalah Tempo edisi 2 Desember 2013.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
**Saran dan kritik: podcast@tempo.co.id atau IG podcast.tempo
Restoran Drive-thru
Istilah drive-thru atau istilah asing lain belum tentu dipahami semua orang. Tapi terkadang padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia juga kurang akrab di telinga kita. Alhasil, istilah atau kata asing tetap populer digunakan.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Surat Lamaran Kerja
Secara garis besar, ada tiga jenis surat, yaitu surat pribadi, surat niaga, dan surat resmi. Surat lamaran kerja adalah contoh surat resmi. Bahasa yang digunakan harus bahasa yang resmi atau formal.
Artinya, tata bahasa dan kosakatanya mesti baku. Format penulisannya pun harus baku. Bahasa dan format yang baku ini membuat surat lamaran kerja mudah dipahami dan tidak menimbulkan interpretasi ganda.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Bahasa Pemersatu
Sumpah Pemuda 1928 menjadi perhelatan yang membuahkan rumusan awal bahasa pemersatu, yang berbasiskan bahasa Melayu. Tanpa bahasa pemersatu ini, tidak bisa dibayangkan bagaimana cita-cita pembentukan sebuah bangsa akan diwujudkan dalam masyarakat Nusantara yang heterogen, yang terdiri atas ribuan bahasa etnis. Lantas, mengapa dipilih bahasa Melayu?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Agung Yuswanto berjudul “Lingua Franca” di majalah Tempo edisi 16 Mei 2010.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bahasa Pejabat
Pejabat kita masih gemar menggunakan eufemisme atau penghalusan kata dalam mengumumkan kebijakan. Pemerintah, misalnya, memilih menyebut “penyesuaian harga BBM” alih-alih “kenaikan harga BBM”, “keluarga prasejahtera” alih-alih “keluarga miskin”, “relokasi PKL” alih-alih “penggusuran PKL”, dan “ganti untung” alih-alih “ganti rugi”. Eufemisme semacam ini bisa membingungkan dan mengaburkan makna sebenarnya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Media Clickbait
Clickbait atau umpan klik di media online (daring) menjadi salah satu strategi jurnalis agar pembaca tertarik mengunjungi situs atau portal beritanya dan membaca artikelnya. Namun sering kita menemukan berita dengan judul clickbait yang menyimpang dari kaidah atau menyelipkan kata yang bersifat subyektif: miris, cantik, bikin geleng-geleng, dan sebagainya. Bahkan tak jarang judul berita itu tak sesuai dengan isinya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Dalang/Arsitek/Auktor Intelektualis G-30-S
Lewat politik bahasa, Orde Baru—dalam kasus G-30-S—telah mengondisikan kata “dalang”, “arsitek”, dan “otak”, yang sebelumnya bermakna netral, menjadi kata-kata yang dimaknai secara negatif, kejam, brutal, bengis, dan tak berperikemanusiaan.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Triyanto Triwikromo berjudul “Dalang, Arsitek, Auktor” di majalah Tempo edisi 7 Oktober 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Hari Pertama dalam Seminggu
Apa hari pertama dalam seminggu? Senin atau Minggu? Lalu, tahukah Anda bahwa pukul dua dini hari masih termasuk malam?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Budak, Butuh, Seronok
Kata yang bermakna positif di Malaysia belum tentu bermakna positif di Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Cermati saja kata “budak”, “butuh”, “perangsang”, dan “seronok” ini.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Ekky Imanjaya berjudul “Manipulasi Makna” di majalah Tempo edisi 7 Februari 2010.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co
Profesi Bergender
Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal kata dengan kategori jenis kelamin atau gender. Namun, dalam penyebutan profesi, penekanan gender sering kita temukan: aktor-aktris, karyawan-karyawati, pramugara-pramugari, mahasiswa-mahasiswi, dan sebagainya.
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Rumah Sehat
Dengan alasan mengubah pandangan umum masyarakat bahwa rumah sakit hanya diperuntukkan bagi orang sakit, penyebutan “rumah sakit umum daerah” di Jakarta diubah menjadi “rumah sehat untuk Jakarta”. Dari sudut pandang kebahasaan, apakah pengubahan ini diperlukan?
---
Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Lalu Lintas Terpantau Ramai Lancar
Bahasa jalan raya bisa jadi bakal menjadi genre berbahasa tersendiri, layaknya bahasa gaul. Makin sering kita mendengar penggunaan “kendaraan terpantau ramai lancar”, “telah terjadi lakalantas”, “padat merayap”, “rekayasa lalu lintas”, “tilang”, “tipiring”, dan “safety riding”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Triyanto Triwikromo berjudul “ Bahasa Jalan Raya” di majalah Tempo edisi 17 Juli 2017.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Wartawan Tak Perlu Sungkan
Dalam bahasa jurnalistik, kata sapaan “Pak”, “Bu”, “Tuan”, dan sejenisnya tidak diperlukan. Penambahan kata sapaan hanya akan menunjukkan karakter penulis yang dipengaruhi feodalisme atau sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan, pangkat, gelar, atau kedudukan.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Dirgahayu Republik Indonesia
Mana yang tepat, “HUT RI ke-77” atau “HUT ke-77 RI”? Keduanya bisa sama-sama keliru. Lantas, bagaimana dengan Dirgahayu Republik Indonesia ke-77?
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
**Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
Keranjingan Jargon
Belakangan, ada kecenderungan memakai bahasa yang rumit dan abstrak ketimbang bahasa sehari-hari yang konkret dan bisa dipahami orang banyak. Alih-alih menyebutkan “sekolah ditutup”, kita cenderung mengatakan “kegiatan belajar-mengajar dihentikan”. Kita lebih suka menulis “infrastruktur transportasi terdegradasi” ketimbang “jalan dan jembatan rusak” atau menulis “stasiun pengisian bahan bakar untuk umum” ketimbang “pompa bensin”. Kita bahkan makin terbiasa mengatakan orang miskin “mengonsumsi” nasi aking, bukan “makan” nasi aking.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Farid Gaban berjudul “Keranjingan Jargon” di majalah Tempo edisi 8 Desember 2008.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Dangdut dan Amerika
Tempo kadang “melahirkan” kata baru. “Dangdut” adalah contoh kata yang terlahir dari meja redaksi Tempo pada 1970-an. Kata ini menjadi genre musik yang populer di Indonesia hingga kini. Tempo juga melahirkan “Abang Sam” untuk menyebut Amerika Serikat dan menghindari julukan “Paman Sam”.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Pasangan Idiomatis nan Abadi
Pasangan idiomatis adalah pasangan khas yang terdiri atas kata kerja (verba) dan kata depan (preposisi). Pasangan ini bisa dikatakan bersifat abadi karena tidak bisa diganti-ganti atau dipertukarkan. Ada “sesuai dengan”, “terdiri atas”, “disebabkan oleh”, “bergantung pada”, dan masih banyak lagi.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Lokalisasi Bahasa Indonesia
Bahasa ibu yang hidup subur pada generasi sekarang adalah bahasa daerah yang berintegrasi dengan bahasa Indonesia atau sebut saja “bahasa Indonesia lokal”. Fakta itu terlihat pada contoh ini: “Nyok, bareng-bareng kite jage dan kite bangun Jakarta” (Betawi), “Bayar dua ribu, ngomong sak karepmu” (Jawa), dan “Hari ini trada nasi” (Papua).
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Maryanto berjudul “Bahasa Ibu” yang terbit di majalah Tempo edisi 9 Maret 2009.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bahasa Tempo
Bahasa Tempo kadang menggunakan kosakata yang tidak sesuai dengan KBBI. Tempo konsisten memakai “subyek” dan “obyek”, misalnya, bukan “subjek” dan “objek”. Tapi semua ada pertimbangannya.
Walau begitu, KBBI tetap menjadi pegangan utama. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia pun menjadi rujukan.
Tempo juga berupaya melestarikan dan memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Maka muncullah kata seperti dangdut, konon, cuek, kinclong, ambyar, dan rasuah.
- - -
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bahasa Gaul Masuk KBBI
Bahasa gaul alias slang selalu ada dari masa ke masa, misalnya bahasa prokem pada 1970-an dan awal 1980-an, yang melahirkan kata cuek, bokap, nyokap, doi, dan lain-lain. Kalau sekarang, contohnya baper, kepo, mager, dan pansos. Beberapa kata dari bahasa gaul juga telah dimasukkan ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi apakah perlu?
- - -
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Diperkosa Setan
Judul-judul film bisa menyimpan jebakan sensasi bahasa. Pada pertengahan 1990-an, film Indonesia pernah punya judul seperti Gairah Malam, Limbah Asmara, dan Ranjang yang Ternoda. Lalu, tahun 2000-an, sebagian judul film kontemporer mengorbankan unsur artistik, sehingga kita menemukan judul semacam Tali Pocong Perawan, Suster Keramas, Hantu Binal Jembatan Semanggi, dan Diperkosa Setan.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Eric Sasono berjudul “Diperkosa Setan” di majalah Tempo edisi 29 Maret 2010.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Oknum
Kata “oknum” acap ditemukan dalam berita “negatif” yang menyangkut pejabat atau aparat negara. Sangat sulit menemukan penggunaan “oknum” untuk kalangan warga sipil atau warga biasa, misalnya petani, buruh, dan mahasiswa.
- - -
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Jebakan “Meng-i” dan “Meng-kan”
Dalam penggunaannya pada kalimat, konfiks “meng-kan” dan “meng-i” kadang dipertukarkan. Padahal, keduanya menghasilkan makna yang sangat berbeda, bahkan bisa bertolak belakang. Coba saja cermati perbedaan: membawahi dan membawahkan, memenangkan dan memenangi, meneladani dan meneladankan, dan sejenisnya.
--- --- ---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Imbuhan “Ke-an” Sila-sila Pancasila
Kata berimbuhan “ke-an” pada sila-sila dalam Pancasila mengandung makna yang membingungkan. Misalnya kata “ketuhanan” dan “kerakyatan”. Mengapa harus “ketuhanan”? Mengapa bukan “Tuhan” saja? Mengapa “kerakyatan”, bukan “rakyat”?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Berthold Damshauser berjudul “Bahasa Pancasila” di majalah Tempo edisi 8 Agustus 2011.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Hiperbola dalam Sepak Bola
Berbeda dengan gaya penulisan berita pada umumnya, berita olahraga–khususnya sepak bola–sering menggunakan gaya bahasa hiperbola. Misalnya “gol cantik”, “algojo penalti”, “bunuh diri”, “sundulan maut”, “tendangan geledek”, “menjebol gawang”, “melibas lawan”, dan “memberikan mimpi buruk”.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bahasa Umpatan
Di Indonesia, bahasa umpatan atau makian lebih sering menggunakan nama-nama hewan. Itu berbeda dengan negara luar. Orang yang berbahasa Inggris, misalnya, ketika mengumpat jarang memakai nama hewan. Kalaupun ya, sifatnya lebih untuk melecehkan gender.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bahasa Aparat: Siap 86!
Kata-kata “siap”, “ndan”, “siap 86!”, “meluncur ke TKP”, dan “mohon izin” merupakan contoh bahasa aparat keamanan yang kini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bila dirunut lebih dalam, sebelum era reformasi, istilah khas yang digunakan polisi dan tentara tersebut belum banyak dipakai warga sipil.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Rohman Budijanto berjudul “Bahasa Aparat Keamanan”, yang terbit di majalah Tempo edisi 18 Juli 2016.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Diamankan Polisi
Penggunaan kata "diamankan" jika dimaksudkan sebagai penangkapan atau penahanan sebaiknya dihindari dalam tulisan jurnalistik. Penghalusan makna kata (eufemisme) semacam ini bisa mengaburkan makna sebenarnya.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kontraksi Kata
Kata juga bisa mengalami kontraksi. Dalam hal ini, kontraksi adalah proses atau hasil pemendekan suatu bentuk kebahasaan. Bahasa Indonesia sering terkontraksi mungkin karena terdiri atas banyak suku kata (multisilabis). “Satu”, “dua”, “tiga”, “tidak”, misalnya, sering terkontraksi menjadi satu suku kata (monosilabis): “tu”, “wa”, “ga”, “tak”.
Perkara kontraksi, Indonesia pernah melayangkan protes kepada Malaysia karena mereka mengontraksikan “Indonesia” sebagai “Indon”. “Indon” merupakan sebutan yang menyiratkan pelecehan rasial terhadap orang Indonesia yang tinggal di Malaysia.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Bambang Sugeng berjudul “Kata yang Terkontraksi”, yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Oktober 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kata Bermakna Ganda
Seperti bahasa pada umumnya, bahasa Indonesia memiliki kata-kata bermakna ganda. Ada homonim, homofon, dan homograf, misalnya. Namun, dalam penggunaannya, kata bermakna ganda sangat jarang menimbulkan kesalahpahaman. Tak akan timbul kebingungan pada pengguna bahasa karena selalu ada konteks untuk kata.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Melafalkan Singkatan Asing dan Akronim
Dalam dunia pengisian suara atau voice over, sangat penting mengetahui cara melafalkan setiap kata dengan tepat. Sering kita mendengar ketidakkonsistenan pengisi suara saat melafalkan singkatan asing: CPO, DMO, WHO, IPO, dan lainnya. Cara pelafalan suatu kata seharusnya tidak bergantung pada kelaziman belaka.
---
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Naik Haji
Istilah “naik haji” adalah istilah asli Nusantara, murni dari Indonesia, dan hanya dipakai oleh orang Indonesia. Istilah ini lahir dari khazanah kebudayaan Islam di Nusantara.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Ahmadul Faqih Mahfudz berjudul “Hamzah Naik Haji”, yang terbit di majalah Tempo edisi 12 Agustus 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Kalimat Sempurna
Mencari sesuatu yang sempuna di dunia ini memang sulit. Namun membuat kalimat sempurna tidaklah sulit. Kita tidak harus selalu mengikuti struktur S-P-O-K agar kalimat menjadi sempurna.
---
**Baca kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia di rubrik Bahasa majalah Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
Cara Menuliskan Satuan
Bagaimana cara menuliskan simbol satuan kilometer yang benar: “KM”, “Km”, atau “km”? Apa bedanya dengan penulisan simbol satuan seperti volt, ampere, dan watt? Sebenarnya, cara menuliskan satuan mengacu pada Systeme Internationale D’unites atau Sistem Satuan Internasional.
---
**Baca kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia di rubrik Bahasa majalah Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
Tata Bahasa itu Membosankan, tapi Penting
Tata bahasa dalam menulis amatlah penting walau sebagian orang menganggapnya tidak menarik dan membosankan. Kita membutuhkan aturan dalam merangkai tulisan karena menulis bukanlah bercakap. Tata bahasa merupakan aturan tentang struktur gramatikal bahasa.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Dian Purba berjudul “Simalakama Tata Bahasa”, yang terbit di majalah Tempoedisi 16 September 2019.
**Kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia bisa dibaca di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Menggunakan Kata "Terkait" dengan Tepat
Media massa kita makin produktif menggunakan kata "terkait". Dan banyak pemakaian kata itu yang tidak tepat. Kekeliruan itu sering terjadi karena pewarta bingung menentukan kata depan atau kata sambung yang tepat.
---
**Baca juga kolom-kolom mengenai bahasa Indonesia di rubrik Bahasa majalah Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
Bahasa Menentukan Harga Menu?
Pernahkah kamu memperhatikan?
Banyak menu di restoran sekitar kita memakai bahasa asing padahal kita sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Ada anggapan, penggunaan menu berbahasa asing memberi kesan lebih komersial dibanding bahasa Indonesia.
Kalau kamu, lebih suka memesan nasi goreng atau fried rice, bakmi atau noodle, bakso atau meatball, es teh atau ice tea?
---
** Episode ini terinspirasi dari tulisan Marco Kusumawijaya berjudul “Sari Jeruk dan Roti Lapis di kampung Banda Aceh”, yang terbit di majalah Tempo edisi 24 September 2006.
**Baca juga kolom dari para penulis lain di rubrik Bahasa majalah Tempo.
Bahasa Menunjukkan Mentalitas Bangsa
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Selatan dan Tenggara yang berhasil mengembangkan bahasa nasionalnya. Walau dijajah ratusan tahun, Indonesia berani lepas dari dominasi bahasa sang penjajah. Namun, di balik itu, ada gejala-gejala pemakaian bahasa yang nyeleneh dan dapat menunjukkan mentalitas bangsa. Misalnya “sumbangan wajib”, “kurang tahu”, “mengejar ketertinggalan”, dan “kopi banget”.
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Soenjono Dardjowidjojo berjudul “Bahasa sebagai Tolok Ukur Mentalitas Bangsa”, yang terbit di majalah Tempo edisi 5 Juli 2009.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.
Bahasa sebagai Cermin?
Mungkinkah bahasa Indonesia menjadi cermin perkembangan atau perubahan budaya Indonesia? Apakah menyerap bahasa negara lain bisa menyebabkan kehilangan jati diri bangsa?
---
**Sajian dalam episode ini sebagian besar dipetik dari tulisan Berthold Damshauser berjudul “Bahasa Indonesia sebagai Cermin?”, yang terbit di majalah Tempo edisi 20 Februari 2012.
**Baca juga berbagai celetuk bahasa dari penulis lain di rubrik Bahasa majalah.tempo.co.