Skip to main content
Membacakan Cerpen

Membacakan Cerpen

By Membacakan Cerpen

Sebuah inisiatif untuk mengabadikan, sekaligus menyimpan, cerita-cerita pendek karya sastra para penulis Indonesia. Sekaligus membuka kemungkinan makna baru lewat media bukan teks.

Cita-citanya sederhana: sebagai arsip daring cerpen Indonesia dalam bentuk audio. Karena semakin banyak yang menikmati, semakin kaya dan panjang umurlah sebuah karya.

-

Kritik dan saran sila kontak IG @febrianputra @membacakancerpen
Available on
Apple Podcasts Logo
Google Podcasts Logo
Overcast Logo
Pocket Casts Logo
RadioPublic Logo
Spotify Logo
Currently playing episode

Sorga Di Bumi (1956) | Sugiarti Siswadi

Membacakan CerpenOct 05, 2023

00:00
13:26
Sorga Di Bumi (1956) | Sugiarti Siswadi

Sorga Di Bumi (1956) | Sugiarti Siswadi

Sugiarti Siswadi, sepanjang tahun 1960an menjadi bagian dari anggota pimpiman pusat Lekra. Sugiarti pernah menjadi co-editor di majalah Api Kartini, dan menerbitkan sejumlah tulisannya di Harian Rakjat. Cerpen "Sorga di Bumi" merupakan karya yang ia terbitkan di Harian Rakjat pada masanya menjabat sebagai anggota Lekra. Sugiarti merupakan perempuan yang vokal dan lantang membicarakan betapa pentingnya pengembangan sastra anak. Ia meyakini bahwa pengembangan sastra anak mampu juga menjadi tonggak masa depan nilai-nilai kerakyatan di masyarakat.


Perjuangan Sugiarti dalam merancang gagasan kerakyatan pada sastra dan perbukuan berlangsung sampai dengan 1965. Pemerintah orde baru turut membatasi riwayat pergerakan Sugiarti sebagai anggota Lekra, sampai dengan melarang peredaran tulisannya pada masa itu.

Oct 05, 202313:26
Besok | Bachtiar Siagian

Besok | Bachtiar Siagian

Dibacakan oleh Febrian.

-

Bachtiar Siagian merupakan seorang sutradara film dan penulis poros kiri pada masanya. Ia bergabung dan menjadi salah satu figur Lekra pada tahun 1950. Karyanya yang berjudul Turang (1957) berhasil meraih empat penghargaan di Festival Film Indonesia tahun 1960.

Pada masa Soeharto mulai berkuasa, Siagian sedang berada di Jepang dalam proyek pembuatan dokumenter. Sekembalinya ke Indonesia, otoritas negara telah menjadikannya buron dan akan membayar mahal untuk penangkapannya. 

Siagian ditangkap dan menjadi tahanan politik pada tahun 1966, ia dilarang menerbitkan karya di berbagai media, dan baru dibebaskan pada tahun 1977. Selama menjadi tapol, ia banyak menuliskan karya dan manuskrip film secara anonim.



Oct 02, 202308:39
Sedikit Hangat (1957) | Nusananta

Sedikit Hangat (1957) | Nusananta

Dibacakan oleh Febrian

-

Harsono Setiadi adalah seorang penulis puisi yang berasal dari Banyuwangi yang lebih dikenal dengan nama pena Nusananta. Kuliah Hukum Ekonomi Sosial Politik (HESP) di Pagelaran. Sesudah bergelar doktorandus, pada tahun 1965 ia menjadi kepala jawatan kebudayaan di Semarang, Jawa Tengah.

Seiring terjadinya Peristiwa G30S, ia ditangkap karena ketokohannya di dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) cabang Semarang, kemudian dibuang ke Pulau Buru, dan meninggal tak lama sesudah ‘dikembalikan ke masyarakat’ pada tahun 1978 di Yogyakarta.



Oct 02, 202314:52
Rambutnya Juminten (1993) | Ratna Indraswari Ibrahim

Rambutnya Juminten (1993) | Ratna Indraswari Ibrahim

Dibacakan oleh Dea

-

Ratna Indraswari Ibrahim merupakan penulis perempuan Indonesia kelahiran 24 April 1949. Pada masa kanak-kanak, Ratna menderita radang tulang yang mengakibatkan kedua kaki dan tangannya tidak berfungsi. Hal inilah yang menyebabkan Ratna harus menjalani semua aktivitas kehidupannya dengan duduk di atas kursi roda semenjak berusia 10 tahun.

Walaupun kemampuan fisiknya sangat terbatas, namun ia mampu melahirkan karya sastra secara produktif. Kesetiaan untuk terus berkarya di dunia sastra ditandai dengan lebih dari 400 karya cerpen dan novel yang ia hasilkan sejak usia remaja hingga akhir hayatnya di usia 62 tahun.

Kemanusiaanlah yang menjadikan Ratna tetap menulis. Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Dan cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah.

Dalam sebuah artikel di situs jurnalperempuan.org, Ratna mengutip ucapan mendiang Ibunya, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. Karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya.”


Apr 28, 202315:39
Dua Dunia (1955) | N.H. Dini

Dua Dunia (1955) | N.H. Dini

Dibacakan oleh Nesha
-

Nurhayati Srihardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini adalah seorang penulis kelahiran Semarang, 29 Februari 1936, yang menulis berbagai genre sastra, seperti puisi, drama, cerita pendek, dan novel. Siapa yang tak kenal beliau?

Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaannya terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisan-tulisannya.

Sementara menurut Putu Wijaya, ia adalah seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, dengan ‘kebawelan yang panjang’.

Ia telah menulis lebih dari 20 buku dan kebanyakan karya-karyanya bercerita tentang wanita. Beberapa karya Nh Dini yang terkenal di antaranya adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), dan kumpulan cerita Dua Dunia (1956) yang ia tulis saat memasuki usia SMA dan salah satu kisahnya dibacakan di Fragmen Ketiga Membacakan Cerpen ini.

Apr 30, 202216:24
Point Zero (1990) | Omi Intan Naomi

Point Zero (1990) | Omi Intan Naomi

Dibacakan oleh Dewi Michele

-

Omi Intan Naomi adalah penulis perempuan kelahiran Denpasar, 26 oktober 1970. Ia merupakan anak seorang budayawan Darmanto Yatman. Ia sudah menulis sejak usia 7 tahun dan merupakan salah satu penulis yang produktif pada masanya. 


Karyanya banyak tersebar di media cetak dan beberapa diterbitkan dalam Kumpulan Sajak Omi (1986), Memori (1987), Puisi Cinta (1987), dan skripsinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Anjing Penjaga (Gorong-gorong Budaya dan ISAI, 1996), sebagai bentuk perlawanan terhadap orde baru. 


Omi yang berparas cantik, cerdas, dan cakap banyak menghabiskan waktunya dalam kesendirian dan membangun website pribadinya www.geocities.ws/rainforestwind di mana ia banyak menuliskan perspektifnya mengenai budaya populer dan ketertarikannya pada budaya Jepang. Di website tersebut, Omi bisa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menulis dengan nama samaran Nina Wihelmina. 


Kecerdasan dan luasnya wawasan Omi membuatnya hadir dalam salah satu kumpulan tulisan Korie Layun Rampai "Sastrawan Angkatan 2000". Omi meninggal pada tahun 2006 di Yogyakarta pada usia 36 tahun, meninggalkan satu tulisan terakhir yang berjudul "Song of Silence".

Apr 30, 202210:39
Hatiku Seorang Lelaki | Sudjinah

Hatiku Seorang Lelaki | Sudjinah

Dibacakan oleh Mei

-

Sudjinah adalah seorang aktivis sekaligus penulis perempuan Indonesia kelahiran Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 27 Juli 1927. Ia menulis karya-karya sastra berupa cerita pendek dan puisi, juga artikel-artikel yang mengupas masalah perempuan yang dimuat di berbagai media pada masanya.

Sudjinah bersama sejumlah kawan sehaluannya mendukung Bung Karno dengan membuat buletin PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno) di mana selama 2 tahunan Sudjinah bergerilya sambil menyebarkan buletin tersebut di tengah masyarakat, termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing.

Akibat aktivitasnya ini, Sudjinah dijebloskan ke penjara Bukit Duri tanpa pengadilan sebelum kemudian divonis hukuman kurungan selama 18 tahun atas tuduhan melakukan tindakan makar dan subversif. Ia mengenang hari-hari setelah 1 Oktober 1965 sebagai hari penuh ketakutan bagi anggota gerakan kiri.

Ia memutuskan menghabiskan masa tuanya di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi yang diresmikan oleh mendiang Gus Dur dan dikhususkan bagi perempuan-perempuan bekas tahanan politik dan korban Peristiwa 1965.

Sudjinah berpulang, pada September 2007.

Apr 29, 202212:47
Copet | Sudjinah

Copet | Sudjinah

Dibacakan oleh Anggi

-

Sudjinah adalah seorang aktivis sekaligus penulis perempuan Indonesia kelahiran Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 27 Juli 1927. Ia menulis karya-karya sastra berupa cerita pendek dan puisi, juga artikel-artikel yang mengupas masalah perempuan yang dimuat di berbagai media pada masanya.

Sudjinah bersama sejumlah kawan sehaluannya mendukung Bung Karno dengan membuat buletin PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno) di mana selama 2 tahunan Sudjinah bergerilya sambil menyebarkan buletin tersebut di tengah masyarakat, termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing.

Akibat aktivitasnya ini, Sudjinah dijebloskan ke penjara Bukit Duri tanpa pengadilan sebelum kemudian divonis hukuman kurungan selama 18 tahun atas tuduhan melakukan tindakan makar dan subversif. Ia mengenang hari-hari setelah 1 Oktober 1965 sebagai hari penuh ketakutan bagi anggota gerakan kiri.

Ia memutuskan menghabiskan masa tuanya di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi yang diresmikan oleh mendiang Gus Dur dan dikhususkan bagi perempuan-perempuan bekas tahanan politik dan korban Peristiwa 1965.

Sudjinah berpulang, pada September 2007.

Apr 29, 202219:40
Meja Gambar (1976) | Titis Basino

Meja Gambar (1976) | Titis Basino

Dibacakan oleh Rahmanda

-

Titis Basino, nama lengkapnya Titis Retnoningrum Basino, terkenal sebagai pengarang cerpen dan novel, lahir di Magelang, Jawa Tengah, 17 Januari 1939. Titis pun pernah bekerja sebagai pramugari pada maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways (1963-1964).

Namanya mulai dikenal dalam khazanah sastra Indonesia pada kurun waktu 1980-an. Akan tetapi, dia telah menggeluti dunia sastra sejak tahun 1960-an. Kehadirannya dalam kancah sastra Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa cerita pendeknya dalam majalah.

Karya awalnya “Meja Gambar” yang dibacakan di Fragmen #3 Membacakan Cerpen kali ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Drafting Table oleh Claine Sivensen dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar.

Selain aktif menulis, Titis Basino juga aktif sebagai Anggota Dewan Pengawas Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Bersama-sama dengan teman-teman di PDS H.B. Jassin, Titis Basino bergulat dengan segenap tenaga dan perhatian untuk melanjutkan kerja besar yang telah diwariskan oleh alm H.B. Jassin terhadap khazanah sastra Indonesia.

May 10, 202114:31
Cakap Angin Dengan Warna Hijau Muda (1950) | S. Rukiah

Cakap Angin Dengan Warna Hijau Muda (1950) | S. Rukiah

Dibacakan oleh Dita Surachmad

-

S. Rukiah yang juga dikenal dengan nama S. Rukiah Kertapati adalah penulis perempuan kelahiran Purwakarta, Jawa Barat, 25 April 1927 yang produktif menulis novel, cerita anak, cerpen, dan puisi. Tandus, kumpulan cerpen dan puisinya yang terbit pada tahun 1952 bahkan mendapat penghargaan Seni Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN)

Pada masa itu, bukan hal yang mudah bagi perempuan untuk menjadi penulis dan menerbitkannya. Namun, Rukiah menjadi perempuan muda yang mampu menjadi penggerak literasi dan menjadi perempuan pertama yang bukunya mendapat penghargaan nasional.

Keterlibatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat sebagai anggota pimpinan pusat Lekra pada tahun 1959, membuat namanya tak pernah lagi terdengar sejak pergolakan politik 1965, meskipun ia adalah sosok perempuan yang aktif di dunia literasi dengan sejumlah karya sastra. Namanya dihilangkan dari sejarah.

Keterlibatannya dengan Lekra membuat dirinya dilarang menulis oleh tentara yang mengawasi rumahnya. Anak-anaknya terus mendapatkan ancaman. Membuat kue, menjahit, dan menyulam menjadi satu-satunya jalan untuk tetap tegar menjalani hidup serta membiayai anak-anaknya.

Rangkaian petaka 1965 membuatnya menderita trauma dan ia pun tak pernah menulis lagi sejak itu.

May 05, 202121:17
Diorama (1987) | Aryanti

Diorama (1987) | Aryanti

Dibacakan oleh Putri Purnomo

-

Pada 1970-an, novel populer mulai semarak dari tangan para wanita pengarang di Indonesia, Aryanti muncul dengan novel pendek Selembut Bunga (1978). Sebelum itu, masyarakat tidak mengenal nama Aryanti. Setelah Selembut Bunga memenangkan Hadiah Buku Utama, juri menginginkan berkas yang menyertai Selembut Bunga dibuka, maka diketahuilah bahwa Aryanti adalah nama samaran dari Prof. Dr. Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan RI ketika itu. Setelah itu, baik karya fiksinya maupun sosoknya mendapat publikasi yang luas di berbagai media massa di Tanah Air.

Dalam tiga novel pertama, Aryanti membangun cerita populer dengan pandangan-pandangan yang agak serius, antara lain bagaimana perempuan dunia ketiga berjuang dalam kondisi kultur lokal (Jawa), kosmopolitan dan global dengan peran dan status laki-laki yang dominan dan superior. Ia memilih tema itu membedakan diri dari arus besar penulisan novel selalu asmara dan perkotaan.

Pendapat HB Jassin atas karyanya dan selaku juri dan kritikus sastra: “… saya menyukai karena bermain dalam suatu niveau atau kalangan yang jarang digarap oleh pengarang kita. Keterpelajarannya juga menarik buat saya.”

Sampai karya novelnya yang ke-2 dan ke-3, Haryati Soebadio masih menggunakan nama Aryanti, ia memang tak seproduktif Marga T dan Mira W tapi memberi selera beda di penulisan sastra masa 1970-an.

Apr 27, 202122:06
Perempuan Warung (1953) | NH Dini

Perempuan Warung (1953) | NH Dini

Dibacakan oleh Marsha

-

Nurhayati Srihardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini adalah seorang penulis perempuan kelahiran Semarang, 29 Februari 1936, yang menulis berbagai genre sastra, seperti puisi, drama, cerita pendek, dan novel.

Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaannya terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisan-tulisannya.

Sementara menurut Putu Wijaya, ia adalah seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, dengan ‘kebawelan yang panjang’.

Ia telah menulis lebih dari 20 buku dan kebanyakan karya-karyanya bercerita tentang wanita. Beberapa karya Nh Dini yang terkenal di antaranya adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), dan kumpulan cerita Dua Dunia (1956) yang ia tulis saat memasuki usia SMA dan salah satu kisahnya dibacakan di Fragmen Ketiga Membacakan Cerpen ini.

Apr 23, 202116:57
Perjalanan (1990) | Marianne Katopo

Perjalanan (1990) | Marianne Katopo

Dibacakan oleh Diyan Zahro

-

Lebih dikenal dengan nama Marianne Katoppo di dunia sastra dan teologi. Nama lengkapnya adalah Henrietta Marianne Katoppo. Anak bungsu ini lahir pada Juni 1943 di tanah Minahasa. Persisnya di Tomohon, Sulawesi Utara.

Katoppo menyelesaikan studi teologinya pada 1963 di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dengan gelar Sarjana Muda Theologia. Di Tahun 1977 ia pula menuntaskan Sarjana Teologia di kampus yang sama. Karena buku karyanya yang berjudul “Compassionate and Free: An Asian Woman’s Theology” (1979) ia disebut teolog feminis pertama di Indonesia sekaligus Asia.

Di tahun 1995 ia dipercaya mewakili sastra dunia dari Indonesia yang dikenal dengan nama Pramoedya Ananta Toer untuk menerima Penghargaan Magsaysay di Manila, Filipina. Selain itu, ia berbicara banyak mewakili perempuan yang tertindas dan ditindas.

Katoppo menduniakan Minahasa melalui Sastra dan Teologi. Ia menghembuskan nafas terakhir pada 12 Oktober 2007 di Bogor, di samping kakaknya, Pericles Katoppo. Jenazah Marianne dikremasi 13 Oktober 2007 di Krematorium Oasis, Tangerang.

Apr 23, 202128:17
Salma Yang Terkasih (1999) | Ratna Indraswari Ibrahim

Salma Yang Terkasih (1999) | Ratna Indraswari Ibrahim

Dibacakan oleh Nara Kristi

-

Ratna Indraswari Ibrahim merupakan penulis perempuan Indonesia kelahiran 24 April 1949. Pada masa kanak-kanak, Ratna menderita radang tulang yang mengakibatkan kedua kaki dan tangannya tidak berfungsi. Hal inilah yang menyebabkan Ratna harus menjalani semua aktivitas kehidupannya dengan duduk di atas kursi roda semenjak berusia 10 tahun.

Walaupun kemampuan fisiknya sangat terbatas, namun ia mampu melahirkan karya sastra secara produktif. Kesetiaan untuk terus berkarya di dunia sastra ditandai dengan lebih dari 400 karya cerpen dan novel yang ia hasilkan sejak usia remaja hingga akhir hayatnya di usia 62 tahun.

Kemanusiaanlah yang menjadikan Ratna tetap menulis. Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Dan cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah.

Dalam sebuah artikel di situs jurnalperempuan.org, Ratna mengutip ucapan mendiang Ibunya, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. Karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya.”

Apr 21, 202119:47
Pengadilan Tani (1965) | Sugiarti Siswadi

Pengadilan Tani (1965) | Sugiarti Siswadi

Dibacakan oleh Ni Made Purnama Sari

-

Sugiarti Siswadi yang juga memiliki nama samaran Damaira adalah seorang penulis perempuan Indonesia yang jejak-jejaknya dikubur oleh rezim Orde Baru oleh sebab keterlibatannya sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Biografinya sangat sulit ditelusuri. Karya-karyanya pun dilarang untuk dibaca. Satu-satunya buku yang pernah diterbitkan atas namanya adalah Sorga di Bumi.

Ia termasuk tokoh penting di tubuh Lekra. Ia menjabat sebagai anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat saat Kongres I Lekra, 1959, di Solo. Ia sejajar dengan Affandi, Agam Wispi, Njoto, Pramoedya Ananta Toer, dan Rivai Apin. Selain aktif dalam gerakan politik kebudayaan, ia juga produktif dalam berkarya.

Menurut Katrin Bandel, karya-karya Sugiarti Siswadi banyak bercerita tentang semangat menolak kolonialisme, semangat menolak perbudakan, semangat meninggalkan takhayul, kebanggan pada kemajuan sains dan pengetahuan, serta menolak perilaku kelas ningrat yang sewenang-wenang.

Pada Fragmen Ketiga ini, Membacakan Cerpen akan membawakan salah satu cerita pendeknya yang memperlihatkan keberpihakannya pada kelas bawah.

Apr 21, 202146:07
Jeda #2 | Antara Diponegoro, Soekarno dan anak Jaksel.

Jeda #2 | Antara Diponegoro, Soekarno dan anak Jaksel.

Setiap sepuluh cerpen yang dibacakan, ada baiknya kita jeda. Tema utama jeda kali ini adalah mesin waktu. Ya, kita memutar suasana kembali ke masa lampau lewat cerpen yang dituliskan pada antologi prosa dan puisi Gema Tanah Air, tahun 1940-1950an. Tamu spesialnya adalah Rumi Siddharta, seorang tualang sejarah independen. Darinya kita berbincang banyak sekali tema, mulai gaya berbusana, gaya berbicara sampai seberapa 'hypebeast' kah Soekarno dan Diponegoro pada masanya. Atau pertanyaan semacam, sejak kapan baju koko menjadi baju muslim? atau oh, ternyata ada seorang konglomerat tionghoa yang menggugat pemerintahan Belanda hanya karena ia ingin menggunakan baju bergaya eropa. Dan banyak lagi tentunya....

Jeda kali ini berupa diskusi yang cukup ramai, karena diikuti oleh banyak orang secara daring. Dan episode kali ini adalah hasil rekaman yang  telah dirapikan kemudian diunggah. Durasinya panjang (banget), ya...sekali nonton film di bioskoplah. 

Terima kasih, dan selamat mendengarkan!

-

Tim MC.

Oct 30, 202002:31:12
Api (1946) | Riono Pratikto

Api (1946) | Riono Pratikto

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Riyono Pratikto, adalah pengarang cerita pendek yang produktif di tahun 1950-an. Lahir di Semarang, 27 Agustus 1932 dan meninggal di Bandung, 30 Oktober 2005 pada usia 73 tahun.

Cerpen-cerpen Riyono banyak mengangkat segi-segi alam gaib yang misterius dan menyeramkan. Riyono, yang produktif antara tahun 1952-1956, seperti menjadi juru bicara para penghuni dunia supranatural yang tidak begitu dikenal oleh kebanyakan orang.

H.B. Jassin menjulukinya sebagai “pengarang cerita-cerita seram”. Sedangkan Ajip Rosidi membandingkan Riyono dengan Edgar Allan Poe dalam hal keseraman ceritanya, juga dengan Alfred Hithcock dalam hal kepiawaian mengelola ketegangan. Sementara bagi Pramoedya Ananta Toer, ia mempunyai tempat tersendiri dan seakan-akan membuat dunia tersendiri.

Dia dikenal sebagai penulis cerita yang produktif. Karya-karyanya yang sudah terbit sebagai buku adalah “Api”, “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” (1958), di samping terjemahan dari pengarang Soviet Boris Lavrenyov “Yang Keempatpuluh Satunya” (1958) dan "Pasukan Berani Mati (1985).

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Isu kedekatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di tahun 1950-an membuatnya dipecat sebagai pegawai negeri tanpa hak pensiun oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1988. Padahal ia telah mengabdi sebagai dosen di Universitas Padjajaran selama 19 tahun.

Akibat tuduhan itu pula, bukunya yang berjudul Api dan Si Rangka (1958) pun menjadi bacaan terlarang di Indonesia di masa Orde Baru.

*diolah dari berbagai sumber

Sep 18, 202018:20
Menjemput Maut (1946) | Riono Pratikto

Menjemput Maut (1946) | Riono Pratikto

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Riyono Pratikto, adalah pengarang cerita pendek yang produktif di tahun 1950-an. Lahir di Semarang, 27 Agustus 1932 dan meninggal di Bandung, 30 Oktober 2005 pada usia 73 tahun.

Cerpen-cerpen Riyono banyak mengangkat segi-segi alam gaib yang misterius dan menyeramkan. Riyono, yang produktif antara tahun 1952-1956, seperti menjadi juru bicara para penghuni dunia supranatural yang tidak begitu dikenal oleh kebanyakan orang.

H.B. Jassin menjulukinya sebagai “pengarang cerita-cerita seram”. Sedangkan Ajip Rosidi membandingkan Riyono dengan Edgar Allan Poe dalam hal keseraman ceritanya, juga dengan Alfred Hithcock dalam hal kepiawaian mengelola ketegangan. Sementara bagi Pramoedya Ananta Toer, ia mempunyai tempat tersendiri dan seakan-akan membuat dunia tersendiri.

Dia dikenal sebagai penulis cerita yang produktif. Karya-karyanya yang sudah terbit sebagai buku adalah “Api”, “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” (1958), di samping terjemahan dari pengarang Soviet Boris Lavrenyov “Yang Keempatpuluh Satunya” (1958) dan "Pasukan Berani Mati (1985).

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Isu kedekatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di tahun 1950-an membuatnya dipecat sebagai pegawai negeri tanpa hak pensiun oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1988. Padahal ia telah mengabdi sebagai dosen di Universitas Padjajaran selama 19 tahun.

Akibat tuduhan itu pula, bukunya yang berjudul Api dan Si Rangka (1958) pun menjadi bacaan terlarang di Indonesia di masa Orde Baru.

*diolah dari berbagai sumber

Sep 18, 202019:09
Gadis Bekasi (1946) | Rusman Sutiasumarga

Gadis Bekasi (1946) | Rusman Sutiasumarga

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Rusman Sutiasumarga adalah sastrawan yang menulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda serta redaktur Balai Pustaka. Lahir di Sagalaherang, Subang, Jawa Barat, 5 Juli 1917 dan meninggal di Jakarta pada 1977.

Sebagian besar cerpen-cerpen karyanya merupakan sketsa peristiwa yang terjadi pada masa-masa perjuangan menuju kemerdekaan Republik Indonesia. Di dunia akademis, Rusman adalah dosen Bahasa dan Kesusastraan Sunda di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada tahun 1960 dan Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti).

Di dalam salah satu karyanya, Yang Terhempas dan Terkandas (1951), mendiang Ajip Rosidi berpendapat bahwa Rusman bukan seorang yang suka lari, ia malah menuntut, menuduh, bahwa peranglah sebab musabab semua kegetiran dan kepedihan. Mesra dan cintanya kepada tanah air, kepada korban-korban yang tak berdosa terasa dalam seluruh cerpen-cerpennya.

Cinta Pertama adalah salah satu novelet Turgenev yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Belanda, telah pula ia terjemahkan pula ke dalam bahasa Sunda dan dimuat bersambung dalam Majalah Sunda tahun 1965 dengan judul Baleg Tampele.

*diolah dari berbagai sumber

Sep 18, 202022:43
Kenang-kenangan (1947) | Abdulgani Abdullah Katili

Kenang-kenangan (1947) | Abdulgani Abdullah Katili

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Abdulgani Abdullah Katili dilahirkan di Gorontalo, April 1915. Pendidikan Middelbare Handelsschool, Jakarta. Dia lebih dikenal sebagai juara tenis di tahun 40-an. Mulai bermain tenis di usia 16, kelahiran Gorontalo pernah menjadi juara Pelti Surabaya, 1940, runner up di Kejuaraan ISSI (lkatan Sport Selunuh Indonesia), 1942, dan juara "Tai Iku Kai di Jakarta, 1943. Di kejuaraan lalu ini, la menang petenis beken lainnya, Ketje Soedarsono. DI nomor ganda, Katili pernah memenangkan Kejuaraan Jawa Barar di Bogor tiga kali berturut-turut pada 1938, 1939, dan 1940 (berpasangan dengan Dirk Sonneville) .Pada tahun 1951, di usia 36, ​​Katili, berpasangan dengan Santoso Hoerip, menjadi juara ganda di Kejuaraan PLTI di Semarang. Pengalamannya di lapangan memuji bakat menulisnya. Mencoba menulis pada tahun 1944, pada usia 29, ia kemudian menghasilkan buku Olah Raga Tenis (terbitan Balai Pustaka) dan Dunia Tenis dan Bintang bintangnya (Gunung Agung) Selanjutnya, Juara juara Arena Modern (Pustaka Rakyat), Sejarah Permainan Olimpiade dan Olah Raga (Hakti), Gaya Sistem Sepak Bola Modern (terbitan Persija), DI Mana Batas Prestasi Mamusia (Tintamas).

Sumber: berbagai sumber

Jun 27, 202020:51
Lonceng Berbunyi (1946) | Subardjo

Lonceng Berbunyi (1946) | Subardjo

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Subardjo dilahirkan 16 April 1925 di Jakarta. Pendidikan: Electro Technische School Jakarta; Sekolah Pertanian Menengah di Ungaran, Semarang. Mula-mula bekerja di Jawatan Kereta Api, kemudian di perkebunan Purwakarta, lalu di Koperasi Ikatan Pertukangan Sepatu Indonesia. Di waktu revolusi jadi anggota tentara bagian Penerangan Tentara Divisi II sebagai letnan muda. 

Jun 27, 202013:11
Sepku (1946) | Abdulgani Abdullah Katili

Sepku (1946) | Abdulgani Abdullah Katili

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Abdulgani Abdullah Katili dilahirkan di Gorontalo, April 1915. Pendidikan Middelbare Handelsschool, Jakarta. Dia lebih dikenal sebagai juara tenis di tahun 40-an. Mulai bermain tenis di usia 16, kelahiran Gorontalo pernah menjadi juara Pelti Surabaya, 1940, runner up di Kejuaraan ISSI (lkatan Sport Selunuh Indonesia), 1942, dan juara "Tai Iku Kai di Jakarta, 1943. Di kejuaraan lalu ini, la menang petenis beken lainnya, Ketje Soedarsono. DI nomor ganda, Katili pernah memenangkan Kejuaraan Jawa Barar di Bogor tiga kali berturut-turut pada 1938, 1939, dan 1940 (berpasangan dengan Dirk Sonneville) .Pada tahun 1951, di usia 36, ​​Katili, berpasangan dengan Santoso Hoerip, menjadi juara ganda di Kejuaraan PLTI di Semarang. Pengalamannya di lapangan memuji bakat menulisnya. Mencoba menulis pada tahun 1944, pada usia 29, ia kemudian menghasilkan buku Olah Raga Tenis (terbitan Balai Pustaka) dan Dunia Tenis dan Bintang bintangnya (Gunung Agung) Selanjutnya, Juara juara Arena Modern (Pustaka Rakyat), Sejarah Permainan Olimpiade dan Olah Raga (Hakti), Gaya Sistem Sepak Bola Modern (terbitan Persija), DI Mana Batas Prestasi Mamusia (Tintamas).


Sumber: berbagai sumber

Jun 05, 202017:54
Gigi Emas (1948) | Mas Saleh Sastrawinata

Gigi Emas (1948) | Mas Saleh Sastrawinata

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Dilahirkan tanggal 15 Juni 1915 di Majalengka (Cirebon). Pendidikan HIS Kuningan; MULO Cirebon; Taman Guru (Kweekschool) Taman Siswa, Jakarta. Mula-mula 9 tahun menjadi guru Taman Siswa. Semenjak Maret 1948 sampai Juli 1952 jadi redaktur Balai Pustaka. Sesudah itu menjadi redaktur Bagian Naskah dan Majalah di Jawatan Pendidikan Masyarakat, Kementrian PP dan K. Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam Kisah Sewajarnya, BP 1952.

-

sumber: Gema Tanah Air

May 28, 202023:12
Narcissus (1947) | Trisno Sumardjo

Narcissus (1947) | Trisno Sumardjo

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air (1942-1948)

-

Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya, 6 Desember 1916 – meninggal di Jakarta, 21 April 1969 pada umur 52 tahun) adalah seorang sastrawan, penerjemah, dan pelukis Indonesia. Sebagai penerjemah, ia banyak menerjemahkan drama William Shakespeare. Ia adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama dan salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan.

Trisno tamat SMS-II Barat Klasik Yogyakarta pada 1937. Ia pernah bekerja sebagai guru swasta (1938-1942) dan pegawai jawatan Kereta Api (1942-1946). Sebagai redaktur, ia pernah bekerja di majalah Seniman (1947-1948), Indonesia (1950-1952), Seni (1954), dan Gaya (1968). Di bidang keroganisasian ia pernah menjadi sekretaris umum BMKN (1956), menjadi ketua pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969). Ia adalah ketua Delegasi Pengarang Indonesia ke RRC (1957). Tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat, dan tahun 1961 sekali lagi mengunjungi Amerika Serikat. Ia adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan. Selain di bidang penulisan, ia juga aktif di bidang seni rupa.

Bersama S. Sudjojono, ia mengawali sejarah kritik seni di Indonesia. Tulisan-tulisan kritik yang ia buat sangat cair, komprehensif, dan jujur. membahas baik negatif dan positif dari suatu karya. Pada tahun 1950-an Trisno pernah berdebat dengan Sudjojono tentang haluan seni rupa Indonesia. Dalam polemik tersebut, Trisno menanggapi anjuran Sudjojono pada seniman Indonesia untuk kembali pada realisme. Tanggapannya, "Rakyat kita tidak hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif, stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"

Pandangannya tentang seni rupa juga dituangkan dalam tulisan berjudul "Kedudukan Seni Rupa Kita" yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Di dalamnya ia menganjurkan agar perkembangan kreativitas serta perjuangan seni rupa tidak hanya terbatas pada kain kanvas. Fatwa ini menjadi ancang-ancang sikapnya untuk tidak mengutamakan satu bentuk seni rupa tertentu. Dia menyebut lapangan baru yang tidak semata kanvas itu antara lain membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung, relief, monumen, keramik, arsitektur, tata kota dan sebagainya.


sumber: Wikipedia

May 12, 202024:18
Bola Lampu (1948) | Asrul Sani

Bola Lampu (1948) | Asrul Sani

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air (1942-1948)

-

Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka. 

Selain itu, ia pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan pimpinan umum Citra Film (1981-1982). Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul Sahabat Saya Cordiaz dimasukkan oleh Teeuw ke dalam Moderne Indonesische Verhalen dan dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).

Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Garapan pertamanya di bidang film adalah skenario Pegawai Tinggi (1953). Debut pertama penyutradaraan filmnya adalah Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959). Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P., dua dari banyak karya yang lain. Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Djam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di Atas Kuburan (1973), dan sederet judul film lainnya. Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar.Selain menulis puisi, cerpen, esai, naskah teater, dan skenario film, dia banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara.

Sementara bergiat di film, pada masa-masa kalangan komunis aktif untuk menguasai bidang kebudayaan, Asrul, mendampingi Usmar Ismail, ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik Nahdhatul Ulama, yang mulai berdiri tahun 1962, untuk menghadapi aksi seluruh front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua Umum, Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan LESBUMI, Abad Muslimin.

Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi angota DPR mewakili NU, terpilih lagi pada periode 1971-1976 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk provinsi Sumatra Barat kotamadya Solok. Sementara itu sejak tahun 1968 terpilih sebagai anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Pada tahun 1976-79 menjadi Ketua DKJ. Sejak tahun 1970 diangkat menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Pernah menjadi Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), kini bernama Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pernah beberapa kali duduk sebagai anggota Badan Sensor Film, tahun 1979 terpilih sebagai anggota dan Ketua Dewan Film Nasional, Sejak tahun 1995 menjadi anggota BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional).

-

Sumber: Wikipedia


Apr 30, 202008:30
Peci (1948) | Mas Saleh Sastrawinata

Peci (1948) | Mas Saleh Sastrawinata

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air

-

Dilahirkan tanggal 15 Juni 1915 di Majalengka (Cirebon). Pendidikan HIS Kuningan; MULO Cirebon; Taman Guru (Kweekschool) Taman Siswa, Jakarta. Mula-mula 9 tahun menjadi guru Taman Siswa. Semenjak Maret 1948 sampai Juli 1952 jadi redaktur Balai Pustaka. Sesudah itu menjadi redaktur Bagian Naskah dan Majalah di Jawatan Pendidikan Masyarakat, Kementrian PP dan K. Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam Kisah Sewajarnya, BP 1952.

-

sumber: Gema Tanah Air

Apr 28, 202010:60
Jeda #1 | Dari H. B. Jassin sampai Sophia Latjuba

Jeda #1 | Dari H. B. Jassin sampai Sophia Latjuba

Di setiap sepuluh cerita yang dibacakan, ada baiknya kita jeda. Di jeda kali ini saya ditemani oleh Berto Tukan (@bertotukan), seorang penulis puisi, cerpen, esai yang aktif di dunia persus-sastraan Indonesia. Dan seorang teman, Novan (@kaknov), yang membaca buku jauh lebih banyak dari saya. 

-

Bertiga ngobrol santuy tentang sejarah cerita pendek yang tak bisa pula dilepaskan dari perjalanan dunia sastra di Indonesia ini. Mulai dari jurnalistik yang dulunya dikemas dalam bentuk cerita sampai Sophia Latjuba. Karena jangan lupa, sepuluh cerita selanjutnya akan dibacakan dari bunga rampai Gema Tanah Air | H. B. Jassin yang berisi kumpulan-kumpulan cerpen rentang tahun 1942-1948. Maka itu ada baiknya kita berbincang seputar itu.

-

Pesan kami, jangan dipercaya seluruhnya isi perbincangan ini, silahkan dicari tahu sendiri kebenarannya. Maaf kalau kepanjangan dan selamat mendengarkan!

Apr 28, 202001:36:13
Perempuan Sinting Di Dapur | Ugoran Prasad

Perempuan Sinting Di Dapur | Ugoran Prasad

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari Cerpen Pilihan Kompas 2017

-

Tentang penulis.

Ugoran Prasad (lahir di Tanjungkarang, Lampung, 1978) adalah seorang fiksionis yang bekerja dengan berbagai medium, khususnya sastra, pertunjukan, dan musik.

Ugoran Prasad memenangkan penghargaan cerpen terbaik Kompas (2005-2006) dengan cerpennya, "Ripin." Sebelumnya ia mendirikan BlockNot Forum (1999) dan menerbitkan novel Di Etalase (Grasindo, 2003). Pada tahun 2010, bersama Eka Kurniawan dan Intan Paramaditha, ia menerbitkan kumpulan cerpen Kumpulan Budak Setan (Gramedia Pustaka Utama, 2010), sebuah pembacaan ulang atas karya-karya horor Abdullah Harahap.

Sejak awal tahun 2000-an Ugoran telah menjadi resident artist di Teater Garasi. Ia terlibat dalam kerja penulisan naskah maupun dramaturgi beberapa karya, termasuk Waktu Batu, yang ditulisnya bersama Gunawan Maryanto dan Andri Nur Latif (2001-2004; sutradara: Yudi Ahmad Tajudin), dan Mnem[a]syne (sutradara: Yudi Ahmad Tajudin), kolaborasi Teater Garasi dan Teater Kunauka, Tokyo. Ia sempat menjadi Associate Editor di Lebur Theater Quarterly, Jurnal Teater dan Seni Pertunjukan. Pada tahun 2009 Ugoran, bersama beberapa orang lainnya termasuk Intan Paramaditha, Yudi Ahmad Tajudin, Ade Darmawan, dan Nuraini Juliastuti, menggagas Simposium Pertunjukan di Indonesia (SPIN) yang menelusuri ruang kolaborasi seniman, akademisi, dan aktivis untuk melakukan intervensi sosial. Simposium ini merupakan program Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) bekerja sama dengan Teater Garasi dan Universitas Sanata Darma.[2]

Ugoran juga dikenal sebagai penulis dan penampil lirik untuk kelompok musik Melancholic Bitch, Yogyakarta. Kelompok ini telah menghasilkan tiga album (Live at nDalem Joyokusuman, 2003, Anamnesis, 2005, dan Balada Joni dan Susi 2009). Pada tahun 2010, bersama musisi indie dari Yogyakarta, Frau, Ugoran menyanyikan kembali lagu yang ia ciptakan untuk album Anamnesis, "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa.”


Sumber: wikipedia

Apr 16, 202020:35
Penagih Hutang Bersepeda Kumbang | Farizal Sikumbang

Penagih Hutang Bersepeda Kumbang | Farizal Sikumbang

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari Cerpen Pilihan Kompas 2017

-

Tentang penulis:

Farizal Sikumbang, lahir di Padang, 5 April 1974. Merantau ke Aceh sejak tahun 1989 hingga sekarang. Menamatkan sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Mulai mempublikasikan cerpen-cerpennya sejak tahun 1998, kebanyakan di koran Serambi Indonesia terbitan Banda Aceh. Karena konflik bersenjata yang tak kunjung selesai, pada tahun 2001 ia eksodus ke tanah kelahirannya di Padang sembari terus mengasah jiwa kepenulisannya. Setelah tsunami melanda Aceh, ia kembali ke tanah Aceh dan kini menjadi pengajar di daerah terpencil di Kabupaten Aceh Besar. Cerpen-cerpennya telah dipublikasikan di beberapa media dan dilakukan secara kolektif, di antaranya kumpulan cerpen Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, 2004, Jakarta), Bob Marley-11 cerpen pilihan sriti.com (Gramedia, 2009, Jakarta) dan Akar Anak Tebu (Pusakata, 2012, Padang).


Sumber: Cerpen Pilihan Kompas 2017

Apr 10, 202016:55
Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? | Faisal Oddang

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? | Faisal Oddang

Dibacakan oleh Febrian

Diambil dari Cerpen Pilihan Kompas 2017

-

Faisal Oddang lahir di Wajo pada 18 September 1994, adalah penulis asal Sulawesi Selatan. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Sebagian besar karya yang ditulisnya bertema tentang tradisi dan adat istiadat di Sulawesi. Karya-karya dari alumni jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin ini pernah mendapatkan beberapa penghargaan, di antaranya Penghargaan Cerpen terbaik Kompas tahun 2014 atas cerpennya berjudul Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon. Pada tahun yang sama, ia juga mendapatkan penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah Thailand. Novelnya berjudul Puya ke Puya menjadi pemenang ke-4 dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dan pada tahun 2015 dipilih sebagai novel terbaik oleh majalah Tempo dan menobatkan Faisal Oddang sebagai Tokoh Seni Tempo 2015 di bidang prosa. Pada tahun 2016, Faisal mengikuti residensi penulis di Belanda dengan dukungan Komite Buku Nasional. Selain itu, ia juga diundang menghadiri International Writing Program 2018 di Iowa City (Amerika Serikat), dan pada tahun yang sama menerima Robert Bosch Stiftung and Literariches Colloquium Berlin Grants 2018.

Karya-karya Faisal Oddang yang lain adalah Rain & Tears (Novel, 2014), Pertanyaan Kepada Kenangan (Novel, 2016), Manurung (Puisi 2017)--finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori puisi, Perkabungan Untuk CInta (Kumpulan Puisi, 2017), dan Tiba Sebelum Berangkat (Novel 2018)--finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori prosa. Faisal Oddang juga kerap diundang dalam festival-festival sastra, seperti: Ubud Writers and Readers Festival 2014, Salihara International Literary Biennalle 2015, dan Makassar International Writers Festival 2015, Festival Sastra Banggai 2018, Rainy Day Literary Festival 2018, Borobudur Writers and Cultural Festival 2018 dan Iowa Book Festival 2018.

sumber: Wikipedia

Apr 05, 202016:53
Malam Seorang Maling | Jakob Soemardjo

Malam Seorang Maling | Jakob Soemardjo

Dibacakan oleh Febrian

-

Prof. Drs. Jakob Soemardjo (lahir di Klaten pada 26 Agustus 1939) adalah salah seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia dan pemerhati sastra. Pendidikan formalnya adalah Jurusan Sejarah IKIP. Dia pernah mengajar menggambar di sebuah SMA di Bandung serta mengajar Sejarah Kebudayaan dan Sejarah Kesusastraan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (Kini ISBI) Bandung. Sejak tahun 1962, dia mengajar di Fakultas Seni Rupa Daerah di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, dan Sosiologi Seni. Saat ini Jakob Sumardjo menyandang Guru Besar di Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung dan masih aktif mengajar di Pascasarjana ISBI Bandung.

Karier kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harian KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.

Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’ (Mencari Sukma Indonesia, hal. 116).

Selain menulis artikel atau buku mengenai filsafat, Jakob juga sering mengulas sastra Indonesia. Karya-karyanya, antara lain, Elite Sastra dalam Budaya Massa (1980), Segi-Segi Sosiologis Sastra Indonesia (1981), Seluk Beluk Cerita Pendek (1981), dan Novel Populer Indonesia (1982).

-

sumber: Wikipedia.id


Mar 29, 202013:18
Harimau Tua | Sitor Situmorang

Harimau Tua | Sitor Situmorang

Dibacakan oleh Febrian

-

Sitor dilahirkan dengan nama Raja Usu. Dia menempuh pendidikan pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1950-1952, Sitor sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris. Selanjutnya, ia memperdalam ilmu memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California pada tahun 1956-57.

Waktu kelas dua SMP, Sitor berkunjung ke rumah abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli.l Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus, walau penguasaan bahasa Belandanya belum memadai. Isi buku menyentuh kesadaran kebangsaannya. Ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari Max Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu, minat dan pehatian terhadap sastra makin tumbuh, dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang".

A. Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan '45 khususnya Chairil Anwar, pada masa ini.

Ia pernah menetap di Singapura (1943), Amsterdam (1950-1951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan bermukim di Islamabad, Pakistan (1991) dan Paris.

Pada 21 Desember 2014, Sitor meninggal dunia pada usia 91 tahun di Apeldoorn, Belanda.

Mar 29, 202013:51
Anak Kebanggaan | A. A. Navis

Anak Kebanggaan | A. A. Navis

Dibacakan oleh Febrian

-

A. A. Navis, si "pencemooh nomor wahid" dari Sumatera Barat. Sejak kemunculannya tahun 1950-an, ia telah menggegerkan dunia Indonesia dengan cerpennya, "Robohnya Surau Kami". Meski lebih dikenal sebagai cerpenis, sebenernya dia juga menulis novel. Selain itu, ia pun juga menulis biografi M. Sjafei dan Hasjim Ning.

Navis adalah seniman yang komplit, penuh vitalitas dan minat yang luas. Hampir semua bidang kesenian pernah ia geluti. Mulai dari melukis, mematung bahkan sampai menjadi anggota legislatif, sebelas tahun lamanya. Ia juga banyak terlibat di aktifitas di bidang ekonomi, intelektual, budaya, pendidikan dan pers. Banyak penghargaan yang ia terima di berbagai bidang itu. Meski dia memulai kariri kepenulisannya di umur 26 tahun -banyak yang bilang ini terlambat- , ia tetap produktif dan tetap berprestasi menghasilkan karya sastra yang bermutu. Meskipun terlambat memasuki dunia sastra, kegigihan dan ketekunan membuatnya berhasil dan dihargai.

Mar 25, 202023:41
Klub Solidaritas Suami Hilang | Intan Paramadhita

Klub Solidaritas Suami Hilang | Intan Paramadhita

Dibacakan oleh Febrian

-

Intan Paramaditha lahir di Bandung, 15 November 1979. Kandidat doktor Cinema Studies, New York University, Amerika Serikat, ini meraih gelar Sarjana Sastra Inggris (2001) dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Master of Arts(2007) bidang Literatur dari University of California, San Diego, AS, dengan tesis berjudul “Motherhood and National Identity in Post-New Order Indonesian Cinema”. Banyak menulis artikel, cerita pendek, dan buku fiksi. Penerima penghargaan sastra Pena Kencana 20 Cerpen Terbaik Indonesia dua tahun berturut-turut untuk karyanya berjudul Apel dan Pisau (2008) dan Satu Kunang-Kunang, Seribu Tikus (2009), serta Khatulistiwa Literary Awards untuk bukunya yang berjudul Sihir Perempuan(2005)Bersama Ugoran Prasad dan Eka Kurniawan menulis buku fiksi Kumpulan Budak Setan (2010). Tulisannya dalam artikel jurnal dan buku, antara lain, “City and Desire in Indonesian Cinema”, Inter-Asia Cultural Studies (2011); “Passing and Conversion Narratives: Ayat-ayat Cinta and Muslim Performativity in Contemporary Indonesia”, Asian Cinema (2010); “Perspektif Gender dalam Kajian Film”, Jurnal Perempuan (2009); “Cinema, Censorship, and Sexuality in Post-Suharto Indonesia”, Anthology of Independent South East Asian Cinema (2011); “Indonesian Women Filmmakers”, Dictionnaire des femmes créatrices (2011); “Women Filmmakers in Indonesia”, Encyclopedia of Women and Islamic Cultures (2010), “Kata Pengantar”, Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru (2009). Selain itu, kerap menulis di media massa dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar tentang gender, perempuan dan film, budaya pop, dan lain-lain.

Mar 25, 202018:17
Tangis | Emha

Tangis | Emha

Dibacakan oleh Febrian

-

Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 66 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.

Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain. Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.

Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora pathèken”. Setelah (mungkin juga sudah berjalan sebelum) Reformasi 1998, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara. Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.

Mar 25, 202004:32
Petasan | Bondan Winarno

Petasan | Bondan Winarno

Dibacakan oleh Febrian

-

(alm) Bondan Winarno adalah seorang penulis dan wartawan Indonesia dengan berbagai kebisaan. Dia memelopori dan menjadi ketua Jalansutra, suatu komunitas wisata boga yang sangat terkenal di Indonesia. Dia juga menjadi presenter dalam acara kuliner di Trans TV, yaitu Wisata Kuliner. 'Mak Nyus' adalah sebuah gimmick darinya yang sangat melegenda di telinga masyarakat penikmat kuliner Indonesia. Yang tak semua orang tahu, Bondan Winarno adalah seorang cerpenis ulung di jamannya. 


".... Yang saya senangi dari Bondan ialah bahwa ia kembali kepada halyang paling dasar dari semua cerita: kecakapan bertutur, yang memikat dari awal sampai akhir. ..." - Goenawan Mohamad -


"Bondan Winarno adalah penulis piawai, dalam arti terjamin enak dibaca, memberi pengetahuan, dan seleranya berkelas-yang terakhir ini sering gagal dihadirkan penulis lain. ..." - Seno Gumira Ajidarma -



Mar 25, 202010:57
Pada Sebuah Beranda | Bondan Winarno

Pada Sebuah Beranda | Bondan Winarno

Dibacakan oleh Febrian

-

(alm) Bondan Winarno adalah seorang penulis dan wartawan Indonesia dengan berbagai kebisaan. Dia memelopori dan menjadi ketua Jalansutra, suatu komunitas wisata boga yang sangat terkenal di Indonesia. Dia juga menjadi presenter dalam acara kuliner di Trans TV, yaitu Wisata Kuliner. 'Mak Nyus' adalah sebuah gimmick darinya yang sangat melegenda di telinga masyarakat penikmat kuliner Indonesia. Yang tak semua orang tahu, Bondan Winarno adalah seorang cerpenis ulung di jamannya.

".... Yang saya senangi dari Bondan ialah bahwa ia kembali kepada halyang paling dasar dari semua cerita: kecakapan bertutur, yang memikat dari awal sampai akhir. ..." - Goenawan Mohamad -

"Bondan Winarno adalah penulis piawai, dalam arti terjamin enak dibaca, memberi pengetahuan, dan seleranya berkelas-yang terakhir ini sering gagal dihadirkan penulis lain. ..." - Seno Gumira Ajidarma -

Mar 25, 202012:29