Rembulan Jawa

Siapapun kamu yang nantinya akan bersamaku, aku ini sulit. Isi kepalaku pelik. Suaraku nan pekik. Perasaanku rumit.

Kalau boleh jujur, pamitku tak mudah. Pamit ku tak indah. Tapi aku harap rasa ini dapat berubah

Namun, bukan manusia namanya. Jika tak menciptakan peluang pada keputus-asaan.

Di tidur panjang, terdapat mimpi. Bersama senyap.

“Lantas, hidupku ini untuk mati?”
“Bedakan antara tujuan dan juga ambisi sekejap, Jingga”
Percakapan singkat ala Jingga dengan bisikan asing yang berani mengusiknya.

Konklusi tak bisa kutemukan saat ruang fikirku masih tak waras seperti ini. Bagaimana dengan nestapa rasa yang kubuat dengan sepahit-pahitnya dari lembaran cerita?

Nikmatilah. Ada kalanya paksaan merupakan suatu hal yang boleh dilakukan untuk hamba pemaksa sepertimu.

Saat itu ku kira akan memberatkan hati apabila jiwa berlari pergi menjemput mimpi lain dari persimpangan kebersamaan.

Hadiah untuk teman saya yang telah menemukan bahagianya.

Kau tau kawan, aku bungkam. Tidak benar-benar bungkam sih. Hanya berdeham mengisyaratkan bahwa aku setuju dengan apa yang diucapkan ayah. Bahkan sampai sekarang jika aku mengingatnya, aku sangat malu. Malu pada sang pencipta yang memberi segala apa yang kubutuhkan. Tanpa pernah bertanya.

Banyak cara kita memaknai perjuangan. Yang terlihat mudah oleh orang sekitar dan hanya kita yang bisa merasakan lelahnya. Melepas mimpi sebelum sampai pada titik finish bukan hal yang memalukan kok. Karena hanya kamu yang paham, apa-apa yang pantas diperjuangkan dan apa-apa yang cukup didoakan.

Memberimu semangat secara tersirat dan tersurat yang menginginkan kamu tetap pada tujuan awalmu.

Kisah ini bukan tentang siapa yang paling bertahan

Untuk kamu si pembangga nenek moyang.