Skip to main content
KATA BENDA

KATA BENDA

By PPKB - FIB UI

Sebuah podcast yang ingin mendengar cerita benda-benda dan apa maknanya buat kehidupan kita.
Cerita tentang pasar dan kuasa; reruntuhan tua dan kota-kota; patung, gunung dan drama-drama dari museum kita. Ikhtiar menggali dan mengakrabkan mengakrabkan pengetahuan (dan kearifan) masa lalu dengan tantangan masa kini. Podcast yang menjelajahi tema arkeologi, museum, dan kebudayaan materi dalam perbincangan (yang mudah-mudahan) santai bersama para ahli dan akademisi.

Available on
Apple Podcasts Logo
Overcast Logo
Pocket Casts Logo
RadioPublic Logo
Spotify Logo
Currently playing episode

Diponegoro dalam empat babak: Cerita dari Jakarta - Bagian 1

KATA BENDA Jan 06, 2020

00:00
39:16
Kata kota (tentang) kita

Kata kota (tentang) kita

Enrique Penalosa, Walikota Bogota (yang system transportasi bus cepatnya, kita adaptasi menjadi Busway TransJakarta pernah bilang perbedaan kota maju dan kota terbelakang itu bisa dilihat dari trotoarnya. Kota yang maju adalah kota yang trotoarnya berkualitas dan manusiawi. Di mana yang miskin dan yang kaya bertemu dan menikmati kota bersama-sama. Ada kesetaraan di sana. Dari kutipan ini, kita jadi bisa membaca bagaimana peradaban sebuah kota. Dari trotoar, dari aspal, dari taman. Dari bagaimana sebuah kota ditata. Ini bukan praktik baru sebab nenek moyang kita yang telah dipengaruhi kosmologi Hindu Buddha juga menata permukiman kotanya berdasarkan kepercayaannya itu. Pusat kota di tengah, sementara yang lain-lainnya terletak mengelilinginya. Nah bagaimanakah sebuah kota menjadi bentuk ekspresi budaya manusianya? Dan bagaimana juga kota mempengaruhi eskpresi budaya manusia-manusianya? Edisi kali ini menghadirkan arsitek, ahli tata kota, ketua Dewan Kesenian Jakarta 2006-2009 Marco Kusumawijaya. 

Nov 27, 202035:12
Fitur geografis dan identitas nusantara

Fitur geografis dan identitas nusantara

Bagaimana ceritanya kalau tuhan menaruh orang Melayu di gurun pasir, mungkin akan berbeda ceritanya dengan sekarang. Atau kepulauan nusantara terdiri dari pulau-pulau es, mungkin ini akan menghasilkan kebudayaan yang berbeda. Mungkin kita akan mengenal belasan kata untuk jenis-jenis es. Seperti halnya kita saat ini mengenal kata padi, gabah, menir, beras, nasi untuk sebuah kata yang sama dalam bahasa Inggris: Rice. Ini untuk menekankan betapa alam juga menentukan budaya dan bahasa kita.

Perbicangan ini menghadirkan guru besar arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Prof. Agus Aris Munandar. Dia akan mengajak kita  menelusur sejarah nusantara lewat kesaksian bentang alamnya, fitur geografisnya. Bagaimanakah laut, sungai, gunung, lembah yang ada di nusantara mendefinisikan kita, budaya kita? 

Nov 26, 202058:39
Perempuan, pasar, dan kekuasaan

Perempuan, pasar, dan kekuasaan

Pasar dan perempuan adalah tempat peradaban bermula. Tanpa pasar takkan ada interaksi antar-kebudayaan, pertukaran barang, dan ini yang lebih penting: takkan ada pertukaran ilmu, pengetahuan, gagasan, agama, dll. Anthony Reid bahkan menyebut revolusi agama, baik Islam dan Kristen di nusantara berawal dari pasar. Pasarlah yang akhirnya membentuk jaringan kota, kekuasaan, dll. Nah ada siapakah di pasar? Konon di banyak tempat di Asia Tenggara, pasar adalah medannya perempuan. Perempuan di pasar-pasar internasional duduk sebagai penukar uang, menjadi saudagar, mengangkut dan menjual barang dagangannya, sendiri dll. Situasi ini tampaknya tidak banyak berubah. Sampai awal abad ke-19 saat Inggris menguasai sebagian nusantara, Raffles bahkan menulis perempuan-perempuan pergi beraktivitas di pasar dan berkuasa mengatur keuangan. Jadi perempuan tak cuma melahirkan manusia-manusia belaka, tapi menggerakkan peradaban dari pasar yang dikelolanya. Perbincangan ini menghadirkan peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional DR Titi Surti Nastiti. Dua karyanya, Pasar di Jawa: pada masa Mataram Kuno abad VIII-XI Masehi dan Perempuan Jawa: kedudukan dan peranannya dalam masyarakat abad VIII-XV adalah karya yang tak mungkin dilewatkan jika kita mau meneliti dua topik tadi.

Nov 20, 202043:21
Apa daya patung-patung kita?

Apa daya patung-patung kita?

Membuat patung telah dilakukan oleh berbagai macam kebudayaan dunia jauh sebelum datangnya agama-agama besar saat ini. Mulai dari Mesir Kuno, China, India, sampai dengan Yunani yang jadi cikal bakal peradaban Eropa. Nenek moyang kita juga harus kita bayangkan membuat patung yang sketsa-sketsanya digambarkan di gua-gua prasejarah. Di masa ini juga kita jumpai patung megalitik yang mungkin punya aspek fungsi ritual. Di masa Mataram Kuno yang dipengaruhi tradisi Buddha, ada juga patung-patung Hindu zaman Singhasari yang halus nan indah. Hingga kini, dalam 20-30 tahun terakhir di mana patung-patung katakanlah patung tokoh wayang di Purwakarta dirusak. Atau Patung Tiga Mojang di karya I Nyoman Nuarta mengundang protes dan dipindahkan. 

Dan ini bukan gejala di nusantara aja ya. Di Afghanistan misalkan patung Buddha dirobohkan. Dengan alas an menjadi symbol rasisme, patung-patung tokoh pendukung atau mereka yang menikmati perbudakan juga dirobohkan. Dari sini kita bisa semacam setengah menyimpulkan bahwa patung-patung itu, tak ubahnya seperit bahasa, menjadi semacam medan makna yang dipertarungkan, diperdebatkan. Dst. Karena itulah kita bikin episode ini. Dengan judul yang agak sedikit sok-sokan: Apa Daya Patung-patung kita? Perbincangan ini menghadirkan Ibu Dolorosa Sinaga pematung yang telah konsisten terjun di dunia kesenian selama empat puluh tahun. Dan awal tahun ini menerbitkan bukunya Tubuh, Bentuk, dan Substansi. Selain pematung, dia juga dosen pada Institut Kesenian Jakarta, dan aktivis sosial penuh waktu.

Nov 19, 202001:00:07
Benda, drama, dan museum kita

Benda, drama, dan museum kita

Museum mestinya adalah gudangnya dongeng. Sebuah artefak sangat mungkin untuk memantik semesta cerita: mengenai siapa penggunanya, zaman di mana dia dipakai, teknologi yang mewujudkannya, atau kisah bagaimana dia ditemukan. Tapi sayangnya belum banyak museum yang mahir menuturkan cerita-cerita yang dikandung koleksinya. Bagaimanakah storytelling bisa membantu museum? Perbincangan ini menghadirkan Yudhi Soerjoatmodjo yang telah membawa semesta dan menciptakan cerita-cerita yang diekstraks dari benda-benda yang dikumpulkan museum, lewat program Akhir Pekan di Museum Nasional--yang sekarang telah menghadirkan tiga puluh lakon lebih dan program Mystery of Batavia--yang mengolah mural museum menjadi komik, game, pertunjukan teater, dan animasi. 

Nov 13, 202001:02:36
Buat apa selamatkan rumah tua?

Buat apa selamatkan rumah tua?

Dari sudut pandang peneliti, ilmuwan, dan peminat sejarah, tentu saja kita ingin semua benda-benda historis—apa pun parameternya--untuk diselamatkan. Tapi kan ya, dunia tak berjalan seperti yang kita inginkan. Bekas pasar kuno--karena becek--buru-buru kepingin kita robohkan dan  upgrade dengan yang baru.  Gua karst yang menyimpan jejak peradaban prasejarah tak sebanding dengan nilai ekonominya: buat bahan baku semen. Atau buat apa menyelamatkan rumah-rumah tua, sementara dari lahannya kita bisa mendapatkan rupiah yang mampu menyumpal mulut-mulut yang lapar? Bagaimanakah etika pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya, misalkan untuk konser rock atau untuk dijadikan bagian dari lintasan balapan?  DR Wiwin Djuwita Ramelan, ketua Ikatan Ahli Arkeologi berbicara panjang lebar tentang kenapa dan apa itu etika pelestarian cagar budaya, sembari mewanti-wanti, "Kalau batu yang patah bisa kita sambung, tapi kalau semangat masyarakat yang patah, kita ribut," 


Nov 12, 202050:58
Diponegoro dalam empat babak, Cerita dari Jakarta - Bagian 2

Diponegoro dalam empat babak, Cerita dari Jakarta - Bagian 2

Di episode kali ini kami mengajak Anda berpetualang mencari jejak Diponegoro di Jakarta. Ada yang terang-terangan tapi ada juga yang sembunyi-sembunyi. Dari manuskrip kuno sampai ke penjara buangan, dari pusaka di ruang berpenjaga sampai patung di ruangan terbuka. Apa saja jejak Diponegoro di Ibukota, kenapa figur yang nyaris membangkrutkan Belanda ini patut kita kenang? Apa makna benda-benda peninggalannya buat kita semua? Saya mengajak Anda berpetualang mencari jejak Diponegoro di Ibukota bersama sejarawan ulung yang telah menguliti sejarah Diponegoro lebih dari tiga dekade, Peter Carey. Kami menyebut petualangan ini: Diponegoro dalam empat babak, Cerita dari Jakarta.

Ini adalah bagian  lanjutan. Episode kedua.

Jan 10, 202028:01
Diponegoro dalam empat babak: Cerita dari Jakarta - Bagian 1

Diponegoro dalam empat babak: Cerita dari Jakarta - Bagian 1

Di episode kali ini kami mengajak Anda berpetualang mencari jejak Diponegoro di Jakarta. Ada yang terang-terangan tapi ada juga yang sembunyi-sembunyi. Dari manuskrip kuno sampai ke penjara buangan, dari pusaka di ruang berpenjaga sampai patung di ruangan terbuka. Apa saja jejak Diponegoro di Ibukota, kenapa figur yang nyaris membangkrutkan Belanda ini patut kita kenang? Apa makna benda-benda peninggalannya buat kita semua? Saya mengajak Anda berpetualang mencari jejak Diponegoro di Ibukota bersama sejarawan ulung yang telah menguliti sejarah Diponegoro lebih dari tiga dekade, Peter Carey. Kami menyebut petualangan ini: Diponegoro dalam empat babak, Cerita dari Jakarta.

Karena begitu banyak bahan yang terekam, dan teramat berharga untuk dibuang, maka kami mengemas tema ini dalam dua episode. Berikut adalah bagian pertamanya.

Jan 06, 202039:16
Airlangga dan Raja-Raja Kita

Airlangga dan Raja-Raja Kita

Ada begitu banyak hal yang menghubungkan raja-raja kita dan Airlangga. Eh maksudnya pemimpin-pemimpin kita. Mantra kerja-kerja-kerja dan pembangunan infrastruktur misalnya adalah juga milik Airlangga. Dia membangun bendung dan irigasi. Bikin perdagangan dan produksi persawahan terkoneksi. Dia pindah ibukota sampai tiga kali. Di masanya bermekaran tradisi literasi (pada masa pemerintahannya tiga puluhan prasasti dikeluarkan—paling tidak yang berhasil ditemukan).  Beberapa di antaranya dimanfaatkan sebagai legitimasi. Oh ya, dia juga membawa-bawa “wartawan” bahkan dalam situasi perang!

Tapi, ini yang menarik, sejarah Airlangga juga adalah sejarah mereka yang kecil. Agama-agama minoritas tetap diikutkan dalam prosesi kenegaraan. Keragaman suku bangsa (termasuk yang "asing") diolah jadi kekuatan. Orang-orang kecil tak cuma dicatut untuk membangun proyek-proyek raksasanya, tapi juga disebut satu per satu sebagai imbal jasa. 

Tapi apa yang bikin raja besar ini  tetap "inferior"? Merasa tak patut mendapatkan tahta yang berujung pada pecahnya kerajaan menjadi dua? 

Kata Benda menghadirkan Ninie Susanti, arkeolog dan pendekar epigrafi jempolan dari Universitas Indonesia, juga pengarang buku "Airlangga Raja Pembaru Jawa Abad XI" untuk menyibak sosok raja besar tak cuma dari Jawa, tapi juga Asia Tenggara. 

Dec 27, 201932:34
Menambang Uang dari Yang Terbuang

Menambang Uang dari Yang Terbuang

Sekarang zamannya ekonomi kreatif. Sumber daya alam habis, tinggallah sumber daya budaya yang jadi gantinya. Sah-sah saja komodifikasi ini. Toh, warisan budaya juga milik publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pubik.

Ya kita tahu Borobudur telah menghasilkan bermiliar-miliar pendapatan dari sektor pariwisata. Begitu juga candi-candinya. Tapi apa cuma warisan budaya yang gigantik dan monumental macam itu yang bisa menghasilkan manfaat buat ekonomi publik? Bagaimana dengan warisan budaya yang kecil-kecil, yang remeh dan tak kelihatan? Bagaimana kita menambang uang dari kumpulan yang terbuang?

Di episode ini, Kata Benda menghadirkan Irmawati Marwoto Johan dosen arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang bersama timnya mengais motif-motif dari pecahan-pecahan gerabah dan menjadikannya batik identitas Banten sekaligus mata pencaharian buat pengrajin-pengrajinnya. 


Dec 20, 201934:33
Warisan Kolonial dan Membaca Label-label di Museum Kita

Warisan Kolonial dan Membaca Label-label di Museum Kita

Di episode kali ini kita akan memeriksa bagaimana warisan budaya kita di museum lewat label-labelnya. Kita akan mendengarkan cerita bagaimana pola pandang, perspektiif kolonialisme bertahan di museum-museum kita, bahkan berpuluh-puluh tahun setelah merdeka dari Belanda. Apa yang diceritakan benda dan label-label museum kita dan apa yang mesti dilakukan?

Perbincangan Kata Benda episode ini menghadirkan Ajeng Ayu Arainikasi, dosen arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga kandidat doktor dari Leiden University di Belanda.

Dec 13, 201935:57
Semua salah rok perempuan?! Pelajaran feminisme dalam empat benda

Semua salah rok perempuan?! Pelajaran feminisme dalam empat benda

Adalah keliru menganggap benda-benda ikonik, adiluhung, langka, semacam arca dan prasasti misalkan, adalah satu-satunya sumber informasi atau makna atau dokumen sosial dan budaya. Benda sehari-hari yang melimpah, yang kita buang juga bisa bermakna. Dari stroller, dorongan bayi kita belajar kontradiksi atau malah rekonsiliasi bahwa membesarkan anak nggak mesti di rumah terus. Jadi orang tua juga bisa mobile, dong!

Dari kantong kresek atau kemasan plastik yang cepat sekali umurnya kita dapat menandai pola pikir manusia modern yang maunya serba cepat, praktis, dan nyaman, namun abai dengan dampak lingkungannya. Dalam konteks yang lebih luas, sampah-sampah plastik ini menandai pola pikir antroposentris. Yang membodoamatkan alam. Persetan dengan dampak lingkungan yang penting saya, manusia bisa hidup nyaman.

Dari rok, kita belajar bagaimana mengatur tubuh perempuan!? Ups! Kami berjumpa Saras Dewi dosen filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, aktivis feminisme dan juga lingkungan hidup untuk berbincang-bincang tentang bagaimana benda-benda/ruang kita sehari-hari membentuk atau malah dibentuk oleh perspektif kita yang diskriminatif terhadap perempuan. Yang akan kita bahas juga, bagaimana peluang benda-benda/ruang untuk menjadi arena dialog untuk mengikis perspektif diskriminatif tadi. Anggaplah ini semacam pelajaran feminism dalam empat babak.

Dec 06, 201938:31
Nenek Moyang Kita Membuahi Para Naga

Nenek Moyang Kita Membuahi Para Naga

Kadang penemuan luar biasa diperoleh dari hal-hal sederhana. Dari kedai kopi atau kantin di kampus misalnya--tentu saja ini tidak bermaksud untuk mengecilkan kerja keras di laboratorium, menelisik arsip, dan meneliti data di lapangan. Tapi, inilah yang terjadi pada penemuan kembali dan akhirnya pengkajian pada apa yang kita sebut sebagai Batu Naga. Batu Naga adalah menhir, sebuah batu tegak dari masa prasejarah yang ditemukan kembali di daerah Kuningan Jawa Barat yang berbatasan dengan Brebes dan Cilacap.

Lantas apa yang diungkap batu yang berasal dari abad lima sebelum masehi ini? Bisa jadi mitologi: Bahwa kehidupan di dunia ini bermula  dari nenek moyang kita yang menyetubuhi naga. Betapa beraninya! Dari sana muncullah peradaban, filsafat kehidupan, sampai dengan karakter-karakter yang mirip tokoh-tokoh pewayangan--yang teramat khas nusantara. Apakah sejarah kemunculan tokoh-tokoh bijak macam Semar dan Togog--juga Gunungan yang membuka lakon saban digelar bisa ditelusur dari batu ini? Bisa jadi! Hipotesis menarik yang mungkin baru akan sempurna dengan revisi dan pengetahuan-pengetahuan mendatang.  

Kata Benda menghadirkan DR. Ali Akbar, arkeolog dan staf pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 

Nov 29, 201925:23
Menara, bedug, dan kentongan: kontestasi di masjid-masjid nusantara

Menara, bedug, dan kentongan: kontestasi di masjid-masjid nusantara

Dari warisan masa pra-Islam, beduk dan kentongan masuk ke ruang suci umat Islam di nusantara. Dari tanda bahaya atau sesuatu yang istimewa, beduk dan kentongan mendampingi lantunan azan nan suci untuk mengajak umat Islam sembahyang—menggantikan atau melengkapi menara-menara yang datang kemudian. Di Sumatera Barat interaksi dan tegangan antara kekuatan politik, sosial, dan kebudayaan, berpuncak pada bentuk atap masjid yang menyerupai bentuk atap rumah gadang. Di Jawa, bentuk limasan, sebagian menafsirkan sebagai tradisi Jawa kuna yang menghormati roh leluhur dan kekuatan yang bersamayam di gunung-gunung menjadi atap yang dominan di masjid-masjid. Tapi kenapa bentuk kubah yang datang belakangan malah jadi pilihan favorit?

Mari mengengok warisan budaya kita: masjid-masjid di nusantara untuk melihat sekali lagi bagaimana hasil kebudayaan materi mengajarkan kita tentang keberagaman. Keragaman bentuk dan rupa di dalam masjid yang mengajarkan kita menjadi lebih bijak. Ini penting dalam situasi sekarang. Yang punya tendensi pada keseragaman dalam pemahaman. Bahwa Islam itu mesti seperti begini dan begitu. Kalau tidak begini dan begitu maka itu bukan Islam, dst. Dengan kata lain kita ingin menengok masjid warisan budaya kita untuk membantu kita menjawab tantangan masa kini.

Kata Benda menghadirkan DR. Isman Pratama Nasution, dosen arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dia menulis masjid-masjid keraton atau masjid-masjid sultan di nusantara dari abad ke-16-20 sebagai topik disertasinya.

Nov 22, 201923:08
Borobudur: Cerita Kecerdikan Lokal dan Bagaimana Nenek Moyang Kita Mengelola Globalisasi

Borobudur: Cerita Kecerdikan Lokal dan Bagaimana Nenek Moyang Kita Mengelola Globalisasi

Sinkretisme itu ada di DNA kebudayaan kita. Jauh sebelum Islam Nusantara atau Sunan Kalijaga berdakwah gunakan rasa dan budaya Jawa, Borobudur (dan prasasti serta candi-candi sezaman) telah menunjukkan bagaimana nenek moyang orang nusantara mengolah budaya-budaya global (Hindu dan Buddha) menjadi sesuatu yang pas dengan cita rasa dan kebutuhan lokal. Dua atau lebih tradisi keagamaan bisa bersemayam damai dan berdampingan, sekat kasta dijinakkan, cerita dan wajah lokal disisipkan, tradisi dan kebudayaan disuburkan hingga para empu dan guru merasa mesti ke sini untuk menimba ilmu. 

Di episode kali ini Profesor Nurhadi Magetsari, guru besar arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang tidak cuma fasih bicara arkeologi tapi juga arsip, sejarah, filsafat, metode penelitian, dan singkatnya: semua tentang kebudayaan akan menjawab pertanyaan bagaimana Borobudur membantu kita mencari dan menguatkan akar kelokalan kita. Nurhadi Magetsari, akrab dipanggil Pak Nanung saja, menulis Candi Borobudur: rekonstruksi agama dan filsafatnya sebagai disertasi doktoralnya pada tahun 80-an. Dia juga Penerima Anugerah Sang Hyang Kamahayanikan dari forum Borobudur Writer & Cultural Festival (BWCF) 2017. Sebuah forum terhormat yang menimbang segala kontribusinya terhadap penggalian makna Borobudur.

Nov 15, 201918:18